SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 5 (BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN NOMOR 1537/PID.B/2016/PN.JKT.UTR)


BAB IV
ANALISIS PENULIS TENTANG PUTUSAN NOMOR 1537/PID.B/2016/PN.JKT.UTR

A.      Kasus Posisi
Kasus posisi yang terdapat dalam surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum di dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah sebagai berikut:
Pada hari Selasa tanggal 27 September 2016 sekira pukul 08.30 WIB terdakwa selaku Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibu kota) Jakarta mengadakan kunjungan kerja di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dalam rangka panen ikan kerapu, dengan didampingi antara lain oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Bupati Kepulauan Seribu, Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta, Asisten Ekonomi dan dihadiri oleh para nelayan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat setempat.
Pada saat terdakwa mengadakan kunjungan kerja tersebut terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta yang pemilihannya akan dilaksanakan pada bulan Februari 2017.
Bahwa meskipun pada kunjungan kerja tersebut tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, akan tetapi oleh karena terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51 yang antara lain mengatakan sebagai berikut: “... ini pemilihan kan dimajuin jadi kalo saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017 jadi kalo program ini kita jalankan dengan baik pun bapak ibu masih sempet panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran ah..nanti kalau ga kepilih, pasti Ahok programnya bubar, engga........saya sampai Oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat Al-Maidah 51, macem – macem itu itu hak bapak ibu yah jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa kepilih nih karena saya takut masuk neraka karna dibodohin gitu ya enga papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu program ini jalan saja, jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo terima ga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ga enak nanti mati pelan-pelan loh kena stroke.”

B.       Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan kasus posisi sebagaimana telah diuraikan di atas, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif sebagai berikut:
 1.      Dakwaan Kesatu (Sejarah dan Unsur Pasal 156a KUHP)
Perbuatan terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Bunyi Pasal 156a selengkapnya berbunyi:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”


a.    Sejarah Munculnya Pasal 156a KUHP
Sebelum membahas mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 156a KUHP di atas, terlebih dahulu Penulis kemukakan sejarah munculnya Pasal 156a di dalam KUHP.
Pasal 156a bukanlah Pasal yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan disalin dari UU No. 1/PNPS/1965 (LN 1965 No 3), dan ditempatkan dalam Pasal 156a di dalam KUHP.[1]
Sebelum penambahan pasal baru tersebut tidak dikenal delik agama, meskipun ada beberapa pasal dalam KUHP yang termasuk dalam kategori delik yang berkaitan dengan agama. Sejak konsep RUU KUHP 1993 hingga yang terbaru RUU KUHP 2010, kedua jenis tindak pidana itu dikenal sebagai Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.[2]
Sebelumnya, UUPNPS ini pernah diajukan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, yang menganggap bertentangan dengan pasal 28E ayat (1) dan (2); pasal 28 I ayat (1); dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Meskipun permohonan uji materi yang dituangkan dalam perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 tersebut akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak semua dalil yang diajukan permohonan terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Namun dalam putusannya MK mengakui bahwa UUPNPS ini memang perlu diperbaiki.[3]
     Dalam UUPNPS, rumusan sanksi pidana tentang penodaan agama tercantum dalam pasal 3, sebagai berikut:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Artinya, sanksi bagi pelaku tindak pidana penodaan agama harus terlebih dahulu ditindak oleh Menteri Agama atau Jaksa Agung, tapi jika tetap masih dilanggar baru dapat dilimpahkan ke dalam proses peradilan umum.
b.   Unsur-Unsur Pasal 156a KUHP
1)   Unsur Barang Siapa
Yang dimaksud barangsiapa, diartikan sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana. Dalam KUHP hanya dikenal subjek hukum berupa orang atau manusia, tidak dikenal subjek hukum berupa badan hukum. Subjek hukum dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban.[4]
 Setiap perbuatannya dan terhadapnya telah didakwa melakukan tindak pidana yang dalam perkara ini adalah sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah seorang laki-laki yang bernama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)  yang identitasnya telah dicantumkan baik dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan ini, serta identitas tersebut telah dibenarkan dalam persidangan oleh terdakwa sehingga tidaklah keliru mengenai subjek hukum (Error in persona)
2)      Unsur Dengan Sengaja
H. B. Vos[5] menyatakan yang pada intinya bahwa dalam KUHP kita, kesengajaan tidak didefinisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam kitab undang-undang. Definisi kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak (wilstheorie) dan teori pengetahuan (voorstellingtheorie).
      Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte), sedangakan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen).[6]
            Dalam unsur dengan sengaja tersebut di atas, Penuntut Umum beranggapan bahwa Terdakwa telah dengan sengaja mengucakapkan kalimat yang bertendesi melakukan penodaan terhadap agama, terlihat jelas dalam dakwaan Penuntut Umum yang berbunyi:
“…akan tetapi oleh karena terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51”

3)        Unsur di Muka Umum Mengeluarkan Perasaan atau Melakukan Perbuatan yang Pada Pokoknya Bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Terhadap Suatu Agama yang Dianut di Indonesia
Penulis tidak menemukan buku atau referensi lain yang berkaitan dengan penjelasan mengenai unsur tersebut di atas, begitu juga dengan KUHP dan Memori van Toelichting juga tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan penodaan agama.
            Penulis hanya menemukan referensi dari pendapat ahli yang dikutip oleh media-media. Mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji seperti yang dikutip oleh Hukumonline[7] pernah menjelaskan:
“Pasal 156a KUHP ini baru bisa efektif setelah ada pembahasan di forum Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (“Bakor Pakem”). Forum ini terdiri dari Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN) serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat.”

            Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan:
"Cara  mengeluarkan  perasaan  atau melakukan perbuatan  dapat  dilakukan dengan  lisan,  tulisan  ataupun perbuatan  lain.  Huruf  a,  tindak  pidana  yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat  untuk  memusuhi atau  menghina.  Dengan  demikian,  maka,  uraian-uraian tertulis  maupun  lisan  yang  dilakukan  secara  objektif, zakelijkee dan  ilmiah mengenai  sesuatu  agama  yang  disertai  dengan  usaha  untuk  menghindarl adanya  kata-kata  atau  susunan  kata-kata  yang bersifat  permusuhan  atau penghinaan,  bukanlah  tindak  pidana  menurut  pasal  ini".
Menurut R. Soesilo[8], sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul “Kitab Undang Undang Hukum Pidana; Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” mengatakan:
“Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 1 di atas, ia diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputasan Meneri Agam, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran keperayaan, ia oleh Presidan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.

Artinya di sini pelaku perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh Pasal 156a KUHP harus terlebih dahulu diberikan teguran atau peringatan oleh Menteri atau Jaksa Agung atau Presiden, untuk segera menghentikan perbuatan itu. Jika setelah diperingati dan pelaku tindak pidana menghentikan perbuatannya maka ia tidak akan dituntuk secara pidana, namun jika ternyata pelaku tidak mengindahkan peringatan tersebut, maka ia baru dituntut secara pidana.
Tidak adanya kejelasan dan maksud yang pasti dan tidak ada tolok ukur yang jelas dan baku tentang apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama, sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif berpikirnya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut.
            Unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP tersebut tidak memiliki kepastian hukum dalam hal siapakah yang memiliki kompetensi dan/atau kewenangan dan bagaimana cara menilai tentang ajaran, perasaan, atau perbuatan seseorang/kelompok orang/organisasi sesat atau menyimpang atau dianggap melecehkan suatu agama. Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau perasaan atau perbuatannya bermaksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, semuanya hanya berserah kepada penilaian hakim semata.
  
2.        Dakwaan Kedua (Dakwaan Alternatif dan Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP)
a.      Dakwaan Alternatif
Terhadap tindak pidana yang disangkakan kepada Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif digunakan apabila penuntut umum merasa ragu mengenai peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut, atau jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana, apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan.[9]
Lebih lanjut Van Bemmelen, menyatakan bahwa dalam hal dakwaan alternatif yang sesungguhnya maka masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu dakwaan pertama.[10]
Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternatif, pada dasarnya bertitik tolak dari pemikiran atau perkiraan:[11]
a.       Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggung jawaban hukum pidana.
b.      Memberikan pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat
Ciri dari dakwaan alternatif adalah dalam penulisannya menggunakan kata ‘atau’. Dakwaan alternatif ini dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak/ciri yang sama atau hampir sama. Misalnya, pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati, dan sebagainya[12].
b.        Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP
Sedangkan mengenai Pasal dalam dakwaan kedua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) adalah Pasal 156 KUHP. Adapun unsur utama yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP adalah, Di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Menurut R. Soesilo, pasal ini disebut dengan delik-delik penyebar kebencian “haartzaai-artikelen” yang maksudnya untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk jangan sampai kena rupa-rupa hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dsb. Di depan umum atau di surat kabar.[13]
Berbeda dengan Pasal 156a, Pasal 156 hanya didakwakan apabila perbuatan pidana yang dimaksud dilakukan terhadap suatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Golongan penduduk Indonesia yang dimaksud yaitu, golongan orang Eropa, Tionghoa, Indonesia (berdasar kebangsaan), orang Kristen, Islam, Budha, (berdasar agama), orang Jawa, Minangkabau, Dayak, Bali, Madura, (berdasar sukt bangsa) dan sebagainya.

C.      Tuntutan Penuntut Umum Perkara Pidana Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr
Penuntut umum menuntut Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) bukan dengan menggunakan Pasal 156a KUHP yang merupakan dakwaan primer, melainkan menuntut menggunakan dakwaan subsidair atau dakwaan kedua. Adapun ringkasan Tuntutan Pidana Penuntut Umum berbunyi:
“Dengan telah terpenuhinya semua unsur-unsur sebagaimana uraian di atas, maka dapat disimpulkan perbuatan Ir Basuki Tjahaha Purnama alias Ahok telah terbukti dengan sah dan meyakinkan, serta setelah memenuhi rumusan-rumusan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 156 KUHP. Bahwa, sepanjang pemeriksaan di persidangan telah didapat fakta-fakta kesalahan terdakwa, kemudian dari fakta-fakta tersebut, tidak terdapat hal-hal yang dapat meniadakan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana ataupun tidak ditemukan alasan-alasan pemaaf maupun alasan-alasan pembenar atas perbuatan terdakwa. Oleh karena itu, terhadap perbuatan terdakwa tersebut, maka terdakwa wajib mempertanggungjawabkan dan untuk itu terdakwa harus dijatuhi pidana. Timbulnya keresahan masyarakat juga tak bisa dilepaskan dari adanya unggahan, oleh orang yang namanya Buni Yani. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penuntut umum dalam perkara ini, menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan:
1.         Menyatakan, terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif kedua.
2.         Menjatuhkan pidana terhadap Basuki Tjahaja Purnama Ahok dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
3.         Menyatakan, (A). Barang bukti nomor satu sampai dengan 11 dan nomor 13, tetap terlampir dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam berkas perkara. (B). Barang bukti nomor 12 dan nomor 14 dikembalikan kepada penasihat hukum terdakwa.
4.         Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000 (sepuluhribu rupiah)”

Jaksa penuntut umum beranggapan, setelah mendengar keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa maupun seluruh proses pembuktian di persidangan, terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang tercantum di Pasal 156 KUHP. Walupun pada akhirnya majelis hakim tidak sepakat dengan pendapat penuntut umum tersebut.
1.      Tuntutan Pidana Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP
            Tuntutan pidana yang terdapat di Pasal 156a berbeda dengan Pasal 156. Dalam Pasal 156a hukuman pidananya adalah paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan dalam Pasal 156 paling lama 4 (empat) tahun.
Penuntut umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah terbukti melalui keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat, petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan benda-benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut requisitoir penuntut umum tersebut, diuraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam undang-undang. Jadi, hanya berdasarkan kebiasaan misalnya terdakwa tidak mempersulit pemeriksaan, sopan, mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu pula keadaan belum cukup umur dipandang sebagai hal yang meringankan terdakwa. Hal-hal tersebut tidak boleh dicampur adukan dengan hal-hal yang memberatkan pidana seperti residivis, gabungan delik, dilakukan dengan berencana. Hal ini dilakukan karena untuk mempermudah hakim dalam membuat keputusan.[14]
2.         Ultra Petita
Dalam petitum poin yang kedua, Penuntut Umum menuntut Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun, namun majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan tersebut, majelis hakim memvonis terdakwa dengan pidana penjara 2 (dua) tahun tanpa hukuman masa percobaan. Artinya vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim melebihi dari tuntuan Penuntut Umum atau yang sering disebut dengan Ultra Petita.
Ultra Petita atau Ultra Petitum Partium adalah frasa yang berasal dari HIR yang mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Awalnya Ultra Petita hanya ditemukan di perkara perdata, namun belakangan ini Penulis telah menemukan banyak putusan pidana yang melebihi tuntutan penuntut umum dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, HIR dengan jelas melarang majelis hakim untuk mengabulkan gugatan yang melebihi petitum yang dimintakan. Dalam hukum perdata menurut Yahya Harahap[15] jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law. Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenangnya atau ultra vires[16]. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan dan keadilan. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Pasal 24 ayat (1) menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan. Dengan demikian, hakim memiliki kemandirian dan kebebasan dalam menjatuhkan putusan yang sedang ditanganinya.
Namun demikian dalam praktik peradilan, putusan ultra petita dianggap sebagai suatu hal yang kontroversial, karena sering menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar/ahli hukum.
Dalam penjatuhan putusan, kebebasan hakim dibatasi oleh surat dakwaan dari penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP mengenai musyawarah hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat dakwaan. Hakim yang menjauhkan putusan di luar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu saja bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP Dalam yurisprudensi juga dianut paham putusan pengadilan harus merujuk pada surat dakwaan. Misalnya putusan MA No. 68 K/Kr/1973 dan No. 47 K/Kr/1956, dua putusan yang lahir sebelum era KUHAP.
Dalam aturan KUHAP Pasal 182 ayat (4), bahwa musyawarah hakim harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Dalam perkara pidana, peneliti Mahkamah Agung, di bawah koordinasi Sudharmawatiningsih[17], melakukan penelitian. Hasil penelitian itu sudah dibukukan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung. Hasil penelitian itu adalah menemukan secara normatif, tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya.
Putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa pidana penjara, bisa pula berupa denda, uang pengganti, bahkan pidana pengganti. Sekalipun hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu, putusan itu tak melanggar KUHAP. Yang terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang dan memvonis diluar dari ancaman pidana yang ditetapkan oleh KUHP atau undang-undang.
D.           Analisis Penulis Tentang Pertimbangan Majelis Hakim dan Eksekusi Putusan Oleh Jaksa Perkara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama.
1.        Pertimbangan Majelis Hakim tentang Penahanan
Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa harus ditahan sesuai dengan amar putusan poin yang ketiga yang menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa ditahan” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan ini terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan, dan terhadap penahanan terdakwa, dipertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) a KUHAP yang menyebutkan: ”Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu” dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau pun mengulangi tindak pidana lagi.”

Dari pertimbangan hakim tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan adanya alasan untuk dilakukan penahanan karena selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa tidak dilakukan penahanan, sehingga majelis hakim menggunakan Pasal 193 ayat (2).
Kejanggalan dalam pertimbangan hakim tersebut adalah karena di dalam Pasal 193 ayat (2) ada unsur “apabila dipenuhi Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu”  sedangkan di Pasal 21 ayat (1) alasan penahanan disebutkan secara jelas yaitu:
1.      hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri;
2.      merusak atau menghilangkan barang bukti;
3.      dan atau mengulangi tindak pidana.
a.      Unsur 1. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri
Dalam hal ini terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dikhawatirkan oleh Majelis Hakim akan melarikan diri, padahal selama penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, baik pihak Penyidik maupun JPU sama-sama mengatakan bahwa Terdakwa dipastikan tidak akan melarikan diri karena terdakwa merupakan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang masih aktif.[18]
Selain alasan tersebut di atas, penulis beranggapan Terdakwa tidak mungkin melarikan diri, karena Terdakwa merupakan seorang pejabat publik yaitu Gubernur aktif DKI Jakarta yang notabene sangat disukai warga Jakarta, di samping itu terdakwa sangat terkenal bahkan ketenarannya sampai ke dunia internasional[19] sehingga apabila Terdakwa melarikan diri maka semua orang di belahan dunia akan mengenali Terdakwa sehingga jikapun melarikan diri, maka akan mudah untuk mencarinya dan menangkapnya.



b.      Unsur 2. Merusak atau menghilangkan barang bukti
            Tujuan penahanan menurut Yahya Harahap[20] adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan juga untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Melihat dari hal tersebut, maka Terdakwa tidak perlu lagi ditahan karena penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan sudah selesai, bahkan putusan telah diucapkan sehingga penahanan sudah tidak relevan dan sudah tidak diperlukan lagi.
            Lagi pula barang bukti maupun alat-alat bukti yang disampaikan oleh JPU ke hadapan sidang pengadilan sudah disita, disimpan dan sudah berada pada penguasaan dan pengawasan JPU, sehingga tidak mungkin lagi jika Terdakwa bisa menghilangkan barang bukti seperti yang dikhawatirkan oleh majelis hakim.
c.         Unsur 3. Mengulangi Tindak Pidana.
            Selain kontroversi yang muncul mengenai tindak pidana yang dilakukan Terdakwa apakah benar-benar memenuhi unsur penodaan agama seperti yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, banyak ahli, dosen dan bahkan penyidik Bareskrim Polri tidak bulat mengatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh JPU[21] sehingga jika dikhawatirkan akan melakukan atau mengulangi tindak pidana lagi, itu serpertinya kemungkinannya itu kecil, hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi. Jadi menurut hemat penulis alasan ini sangat tidak masuk akal, karena selain itu juga Terdakwa dalam berbagai kesempatan sudah pernah mengucapkan permintaan maaf karena perkatannya membuat gaduh dan menyakiti hati banyak orang.[22]
Sedangkan di ayat (2) menyebutkan penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim. Yang artinya jika dalam penyidikan kasus ini, para penyidik dari Bareskrim Polri tidak melakukan penahanan terhadap tersangka karena menurut mereka alasan penahanan seperti yang dicantumkan Pasal 21 ayat (2) tidak terpenuhi.[23] Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus agar terdakwa ditahan adalah keliru, karena penahanan pada prinsipnya bertentangan dengan asas-asas yang diakui secara universal seperti Hak Asasi Manusia khususnya hak kebebasan seseorang, oleh karena itu penahanan dilakukan jika perlu sekali.[24]
Pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa yang dituangkan dalam pertimbangan yang ke 82 dan 83 yang terdapat pada halaman 615 yang menyebutkan:
“Menimbang bahwa Pasal 21 ayat (4) a KUHAP menyebutkan, penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;”
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengadilan, terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 a huruf a KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun”

Kedua pertimbangan hukum di atas menurut hemat penulis saling kontradiksi atau bertentangan satu sama lain, dalam pertimbangan yang pertama, majelis hakim menekankan pada tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih sesuai yang tercantum di Pasal 21 ayat (4), sehingga perlu untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa. Namun di dalam pertimbangan yang kedua, majelis hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama sehingga menghukum Terdakwa dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara.
Seharusnya jika mengacu pada pertimbangan hukum yang pertama dan Pasal 21 ayat (4), maka seharusnya Terdakwa dihukum dengan 5 (lima) tahun penjara, karena di Pasal itu mengharuskan pidana yang diancam 5 (lima) tahun penjaralah yang dilakukan penahanan sehingga syarat objektifnya terpenuhi. Lagi pula pertimbangan hakim tersebut tidak relevan lagi digunakan setelah proses pembuktian di pengadilan selesai, karena itu adalah ranah Penyidik dalam tahap penyidikan maupun Penuntut Umum dalam tahap penuntutan dalam menentukan apakah unsur pada Pasal 165 huruf (a) dimana acaman hukumannya maksimal 5 (lima) tahun bersesuaian dengan unsur di dalam Pasal 21 ayat (4) sehingga diperlukan penahanan atau tidak.
Pasal 21 ayat (4) juga mengisyaratkan bahwa hukuman pidana adalah 5 (lima) tahun, sedangakan ancaman pidana yang terdapat di dalam pasal 156a KUHP adalah selama-lamanya 5 tahun. Artinya frasa “selama-lamanya” mengandung pengertian hukuman itu paling lama (5) lima tahun, sehingga Penulis berpendapat pidana lima tahun yang dimaksud tidak bersesuaian antara pasal 156a KUHP dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
2.      Eksekusi Putusan oleh Jaksa Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama
Eksekusi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab Jaksa[25]. Pelaksanaan putusan hakim harus didasarkan pada keadilan dan kemanusiaan.[26] Asas ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK). .
Dasar hukum eksekusi penahanan Terdakwa Basuki Thajahaya Puranama (Ahok) didasarkan pada adanya amar putusan majelis hakim yang memerintahkan agar Terdakwa ditahan. Sehingga dengan segera setelah persidangan selesai dan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menutup persidangan, Jaksa langsung mengeksekusi Terdakwa dengan cara menahan dan membawa ke Rumah Tanahan Cipinang.
a.      Terdakwa Banding
Setelah pembacaan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai, tidak berselang lama Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Penasihat Hukumnya menyatakan Banding atas vonis tersebut, sehingga putusan tersebut menurut KUHAP belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Apabila suatu putusan yang dinyatakan Banding, maka putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karenanya amar pemidanaan yang terkandung dalam putusan itu belum bisa dieksekusi oleh Jaksa karena KUHAP memberi penjelasan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan membatasi Jaksa melaksanakan suatu putusan dengan beberapa syarat, seperti dalam Pasal 270 KUHAP berbunyi:
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”

Jika menilik Penjelasan KUHAP mengenai Pasal 270 tersebut di atas adalah tertulis “cukup jelas”, artinya Pembuat Undang Undang merasa tidak perlu lagi menjelaskan maksud dari Pasal tersebut karena sudah jelas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) hanya dapat dilakukan apabila putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak boleh melasanakan suatu putusan apabila masih ada proses banding ataupun kasasi. Maka Jaksa hanya boleh mengeksekusi suatu putusan apabila: (1). Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap; dan (2). Panitera telah mengirimkan salinan putusan.
b.      Perintah Penahanan Jika Terdakwa Banding
Sejak awal, pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Pengadilan pada proses penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, tidak pernah melakukan penahanan terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), sampai dengan akhirnya di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Utara Terdakwa diputus bersalah dan divonis 2 (dua) tahun penjara serta perintah agar segera dilakukan penahanan.
Penulis beranggapan, terdapat kejanggalan amar putusan dan juga eksekusi terhadap putusan tersebut. Karena segera setelah putusan pemidanaan selesai dibacakan Terdakwa menyatakan Banding, maka pada saat itu juga Putusan yang diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum berkekuatan hukum tetap dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, sesuai dengan Pasal 238 KUHAP ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan sebagai berikut:
Ayat (2)
“Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.”

Ayat (3)
“Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan Terdakwa.”
Dari ketentuan Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP tersebut, jelas bahwa wewenang penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak saat Terdakwa menyatakan Banding. Oleh karenanya, ketika ada permintaan Banding, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi bahwa seorang Terdakwa telah mengajukan banding, maka sejak saat itu juga kewenangan menahan seorang Terdakwa telah beralih kepada Pengadilan Tinggi.
            Asumsi penulis, jika wewenang penahanan telah beralih kepada Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan Banding, maka secara otomatis amar penahanan yang terdapat dalam putusan pemidanaan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sudah tidak memiliki kekuatan eksekutorial lagi.

E.       Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang Terhadap Pasal 197 huruf (k) KUHAP.

Sesuai dengan pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa Basuki Tjahaya Purnama yang dituangkan dalam pertimbangan yang ke- 84 dan ke- 85 yang terdapat pada halaman 615 dan halaman 616 putusan pemidanaan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR, yang menyebutkan:
Pertimbangan ke-84

“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyebutkan bahwa Surat putusan pemidanaan menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”

Pertimbangan ke-85

“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k, dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum;”

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa majelis hakim berpendapat bahwa apabila Terdakwa tidak ditahan maka putusan tersebut batal demi hukum karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.


                                       
            Menurut M. Yahya Harahap,[27] selama ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP masih eksis dan valid atau dengan kata lain, selama ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP “tidak diubah” atau “tidak dihapus”, maka setiap putusan pemidanaan peradilan tingkat apapun (tingkat pertama, tingkat banding atau tingkat kasasi) yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP: dengan sendirinya putusan itu “batal demi hukum”; setiap putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang “tidak sah” dan “sejak semula dianggap tidak pernah ada”; oleh karena itu, putusan yang demikian “tidak mengikat” sehingga pada putusan itu “tidak melekat kekuatan eksekutorial”; dan apabila JPU mengeksekusinya, berarti tindakan itu “sewenang-wenang” dan “inkonstitusional” serta “melanggar HAM” karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945 serta Pasal 17 dan Pasal 34 UU HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999).
Bulan November 2012 , Mahkamah Konstitusi, melalui putusan Nomor 69/PUU-X/2012, telah mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 197 huruf (k) mengenai perintah penahanan terdakwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Selengkapnya amar putusannya berbunyi:
Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;

“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”

Sehingga berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa putusan yang tidak memuat amar putusan “memerintahkan agar terdakwa ditahan” sesuai dengan Pasal 197  ayat (1) huruf k, tidak batal demi hukum. Berikut bunyi lengkap Pasal 197 ayat (2) setelah diuji oleh Mahkamah Konstitusi:
Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”;

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka suatu putusan pemidanaan yang tidak memuat amar penahanan terdakwa tidak mengakibatkan putusan itu batal demi hukum.
Sedangkan menurut Yahya Harahap,[28] Sifat dan tingkat kebatalan (nietigheid/nulliteit, voidness/nullity) putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig, legally null and void/void ipso jure). Bukan bersifat atau berderajat dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable) , akan tetapi demi hukum putusan tersebut dengan sendirinya batal.
F.       Perbedaan Amar Putusan Buni Yani dengan Amar Putusan Basuki Tjahaya Purnama Tentang Perintah Penahanan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Buni Yani, terdakwa kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia dinyatakan bersalah mengubah video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
 “Mengadili, menyatakan terdakwa Buni yani terbukti melakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu tahun enam bulan”

Majelis hakim beranggapan bahwa Buni Yani melanggar Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1 tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
            Berbeda dengan putusan pemidanaan Basuki Tjahaya Punama, yang dalam amar putusan dicantumkan perintah untuk ditahan, dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa Buni Yani, walaupun sma-sama terbukti bersalah dan dihukum penjara 18 bulan, tetapi yang bersangkutan tidak diperintahkan untuk ditahan. Majelis hakim beranggapan bahwa terdakwa tidak perlu ditahan, tanpa menggunakan dasar hukum seperti dalam putusan Basuki Tjahaya Purnama yang mengutip Pasal 197 huruf (k).
            Dalam pertimbangan untuk menahan terdakwa Buni Yani, majelis hakim hanya mengatakan:
"Menimbang bahwa selama persidangan terdakwa tidak ditahan dan menurut majelis hakim tidak cukup alasan untuk menahan, maka terdakwa tidak ditahan,"

Di sini muncul perbedaan pendapat antara hakim yang mangadili terdakwa Basuki Tjahaya Purnama dengan hakim yang mengadili terdakwa Buni Yani. Penulis melihat ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai perintah penahanan tersebut. Tidak adanya dasar hukum dalam pertimbangan yang diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, mendorong Penulis berpendapat bahwa hakim hanya menggunakan diskresi subjektif mengenai tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa Buni Yani.



[1] Adami H Cahzawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN, Surabaya, 2009, hlm. 238.
[2] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 323.
[3] Op. Cit, hlm. 324.
[4] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 59.
[5] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 132.
[6] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 186.
[7] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4464/penghinaan-terhadap-agama, pada Tanggal 26 Januari 2018, Pukul 11:07 WIB.
[8] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hlm. 116.
[9] Andi Hamzah, Pengantar Hukum acara Pidana Indonesia… Op. Cit, hlm. 185.
[10] Ibid, hlm. 186.
[11] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP… Op. Cit, hlm. 400-401.
[12] Paul Sinlaeloe, Memahami Surat Dakwaan, Cetakan Pertama, PIAR, Nusa Tenggara Timur, 2015, hlm. 24.
[13] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang…Op Cit, hlm. 114.
[14] Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta, 1993, hlm. 119.
[15] M. Yahya Harahap, Peran Yurisprudensi Sebagai Standar Hukum Sangat Penting Pada Era Globalisasi, Varia Peradilan, No. 92, 1993. Hlm. 24.
[16] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 801.
[17] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt577c88908b259/vonis-lebih-tinggi-dari-tuntutan--boleh-nggak-sih. Pada tanggal 13 Februari 2018, jam 12.41 WIB.
[18] Diakses dari situs, https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161116122958-516-173001/empat-alasan-ahok-tak-ditahan/, pada tanggal 10 September 2017, jam 14:43 WIB.
[19] Diakses dari situs, http://www.bbc.com/news/world-asia-39853280, pada tanggal 10 September 2017, jam 15:10 WIB.
[20] Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP…, Op. Cit, hlm. 165.
[21] Diakses dari situs https://news.detik.com/berita/d-3346446/tetapkan-ahok-jadi-tersangka-keputusan-penyelidik-polri-tidak-bulat, pada tanggal 11 September 2017, jam 9.10 WIB.
[22] Diakses dari situs https://nasional.tempo.co/read/842141/ahok-minta-maaf-mui-imbau-umat-islam-tak-terpancing-hasutan, pada tanggal 11 September 2017, jam 9.10 WIB.
[23] Diakses dari situs
 http://nasional.kompas.com/read/2016/11/21/11244681/polri.belum.ada.urgensi.menahan.ahok, pada tanggal 10 September 2017, jam 12:42 WIB.
[24] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 132.
[25] Marwan Efendy, Kejaksaan; posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 126
[26] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Op. Cit, hlm. 287
[27] Pendapat Ahli dalam Persidangan Pengujian UU di Gedung MK, seperti Tertuang di Putusan Nomor 69/PUU-X/2012, Diakses dari Situs www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content /persidangan/putusan/69/PUU-X/2012, Pada tanggal 1 Desember, pukul 14.12 WIB.
[28] Berdasarkan keterangan tertulis dari Yahya Harahap, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 yang telah dibacakan pada sidang tanggal 22 November 2012, hlm. 27

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meat, Desa Indah di Pinggiran Danau Toba, Tampahan, Balige

Trio Amsisi