SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 5 (BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN NOMOR 1537/PID.B/2016/PN.JKT.UTR)
BAB IV
ANALISIS PENULIS TENTANG PUTUSAN NOMOR 1537/PID.B/2016/PN.JKT.UTR
A.
Kasus
Posisi
Kasus posisi yang terdapat dalam surat dakwaan yang diajukan oleh
Penuntut Umum di dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara adalah sebagai berikut:
Pada hari Selasa tanggal 27 September 2016 sekira pukul 08.30 WIB
terdakwa selaku Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibu kota) Jakarta mengadakan
kunjungan kerja di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau
Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, Propinsi DKI Jakarta dalam rangka panen ikan kerapu, dengan didampingi
antara lain oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Bupati Kepulauan Seribu, Kepala
Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta, Asisten
Ekonomi dan dihadiri oleh para nelayan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
aparat setempat.
Pada saat terdakwa mengadakan kunjungan kerja tersebut terdakwa telah
terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta yang pemilihannya akan
dilaksanakan pada bulan Februari 2017.
Bahwa meskipun pada kunjungan kerja tersebut tidak ada hubungannya
dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, akan tetapi oleh karena
terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa
memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan
agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51 yang
antara lain mengatakan sebagai berikut: “... ini pemilihan kan dimajuin jadi kalo
saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017 jadi kalo program ini
kita jalankan dengan baik pun bapak ibu masih sempet panen sama saya sekalipun
saya tidak terpilih jadi gubernur Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat,
jadi ga usah pikiran ah..nanti kalau ga kepilih, pasti Ahok programnya bubar,
engga........saya sampai Oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang, kan bisa
aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat
Al-Maidah 51, macem – macem itu itu hak bapak ibu yah jadi kalo bapak ibu
perasaan gak bisa kepilih nih karena saya takut masuk neraka karna dibodohin
gitu ya enga papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu program ini jalan
saja, jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam nuraninya ga bisa milih
Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo terima ga enak dong jadi
utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ga enak nanti mati pelan-pelan loh
kena stroke.”
B.
Dakwaan
Penuntut Umum
Berdasarkan kasus posisi sebagaimana telah diuraikan di atas, Jaksa
Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif sebagai berikut:
Perbuatan terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a Kitab Undang Undang Hukum
Pidana. Bunyi Pasal 156a selengkapnya berbunyi:
"Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun
juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”
a.
Sejarah
Munculnya Pasal 156a KUHP
Sebelum membahas mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 156a
KUHP di atas, terlebih dahulu Penulis kemukakan sejarah munculnya Pasal 156a di
dalam KUHP.
Pasal 156a bukanlah Pasal yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS)
Belanda, melainkan disalin dari UU No. 1/PNPS/1965 (LN 1965 No 3), dan
ditempatkan dalam Pasal 156a di dalam KUHP.[1]
Sebelum penambahan pasal baru tersebut tidak dikenal delik agama,
meskipun ada beberapa pasal dalam KUHP yang termasuk dalam kategori delik yang
berkaitan dengan agama. Sejak konsep RUU KUHP 1993 hingga yang terbaru RUU KUHP
2010, kedua jenis tindak pidana itu dikenal sebagai Tindak Pidana terhadap
Agama dan Kehidupan Beragama.[2]
Sebelumnya, UUPNPS ini pernah diajukan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, yang menganggap
bertentangan dengan pasal 28E ayat (1) dan (2); pasal 28 I ayat (1); dan pasal
29 ayat (2) UUD 1945. Meskipun permohonan uji materi yang dituangkan dalam
perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 tersebut akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,
karena tidak semua dalil yang diajukan permohonan terbukti bertentangan dengan
UUD 1945. Namun dalam putusannya MK mengakui bahwa UUPNPS ini memang perlu
diperbaiki.[3]
Dalam UUPNPS, rumusan sanksi
pidana tentang penodaan agama tercantum dalam pasal 3, sebagai berikut:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik
Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau
aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka
orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan
dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Artinya,
sanksi bagi pelaku tindak pidana penodaan agama harus terlebih dahulu ditindak
oleh Menteri Agama atau Jaksa Agung, tapi jika tetap masih dilanggar baru dapat
dilimpahkan ke dalam proses peradilan umum.
b.
Unsur-Unsur
Pasal 156a KUHP
1)
Unsur
Barang Siapa
Yang dimaksud barangsiapa, diartikan sebagai subjek hukum atau pelaku
tindak pidana. Dalam KUHP hanya dikenal subjek hukum berupa orang atau manusia,
tidak dikenal subjek hukum berupa badan hukum. Subjek hukum dikatakan sebagai
pendukung hak dan kewajiban.[4]
Setiap perbuatannya dan
terhadapnya telah didakwa melakukan tindak pidana yang dalam perkara ini adalah
sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah seorang laki-laki yang bernama Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) yang identitasnya
telah dicantumkan baik dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan ini, serta
identitas tersebut telah dibenarkan dalam persidangan oleh terdakwa sehingga
tidaklah keliru mengenai subjek hukum (Error
in persona)
2)
Unsur Dengan Sengaja
H. B. Vos[5]
menyatakan yang pada intinya bahwa dalam KUHP kita, kesengajaan tidak
didefinisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam kitab
undang-undang. Definisi kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori
kehendak (wilstheorie) dan teori
pengetahuan (voorstellingtheorie).
Menurut teori kehendak
kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti
dirumuskan dalam wet (de op
verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte), sedangakan menurut
yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui
unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke
omschrijving behoorende bestandelen).[6]
Dalam unsur dengan sengaja tersebut
di atas, Penuntut Umum beranggapan bahwa Terdakwa telah dengan sengaja
mengucakapkan kalimat yang bertendesi melakukan penodaan terhadap agama,
terlihat jelas dalam dakwaan Penuntut Umum yang berbunyi:
“…akan tetapi oleh karena terdakwa
telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa
memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan
agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51”
3)
Unsur di Muka Umum Mengeluarkan Perasaan atau Melakukan Perbuatan yang
Pada Pokoknya Bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Terhadap Suatu
Agama yang Dianut di Indonesia
Penulis tidak menemukan buku atau referensi lain yang berkaitan dengan
penjelasan mengenai unsur tersebut di atas, begitu juga dengan KUHP dan Memori van Toelichting juga tidak
memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan penodaan
agama.
Penulis hanya menemukan referensi
dari pendapat ahli yang dikutip oleh media-media. Mantan Jaksa Agung Hendarman
Supandji seperti yang dikutip oleh Hukumonline[7]
pernah menjelaskan:
“Pasal 156a KUHP ini baru bisa efektif setelah ada pembahasan di forum
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (“Bakor
Pakem”). Forum ini terdiri dari Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, Badan
Intelijen Negara (BIN) serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran
dinyatakan sesat.”
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama menyatakan:
"Cara mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan
dapat dilakukan dengan lisan,
tulisan ataupun perbuatan lain.
Huruf a, tindak
pidana yang dimaksudkan di sini,
ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk
memusuhi atau menghina. Dengan
demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun
lisan yang dilakukan
secara objektif, zakelijkee dan ilmiah mengenai sesuatu
agama yang disertai
dengan usaha untuk
menghindarl adanya kata-kata atau
susunan kata-kata yang bersifat
permusuhan atau penghinaan, bukanlah
tindak pidana menurut
pasal ini".
Menurut R. Soesilo[8],
sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul “Kitab Undang Undang Hukum
Pidana; Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” mengatakan:
“Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 1 di atas, ia diberi
peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu
keputasan Meneri Agam, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jika yang
melanggar itu suatu organisasi atau aliran keperayaan, ia oleh Presidan setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
Artinya
di sini pelaku perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh Pasal
156a KUHP harus terlebih dahulu diberikan teguran atau peringatan oleh Menteri
atau Jaksa Agung atau Presiden, untuk segera menghentikan perbuatan itu. Jika
setelah diperingati dan pelaku tindak pidana menghentikan perbuatannya maka ia
tidak akan dituntuk secara pidana, namun jika ternyata pelaku tidak
mengindahkan peringatan tersebut, maka ia baru dituntut secara pidana.
Tidak adanya kejelasan dan maksud yang pasti dan tidak ada tolok ukur
yang jelas dan baku tentang apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan
dan penodaan terhadap agama, sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif
berpikirnya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia
tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan
penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut.
Unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP
tersebut tidak memiliki kepastian hukum dalam hal siapakah yang memiliki
kompetensi dan/atau kewenangan dan bagaimana cara menilai tentang ajaran,
perasaan, atau perbuatan seseorang/kelompok orang/organisasi sesat atau
menyimpang atau dianggap melecehkan suatu agama. Sehingga perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau perasaan atau perbuatannya
bermaksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa, semuanya hanya berserah kepada penilaian hakim semata.
2.
Dakwaan
Kedua (Dakwaan Alternatif dan Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP)
a.
Dakwaan
Alternatif
Terhadap tindak pidana yang disangkakan kepada Terdakwa Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok) penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif
digunakan apabila penuntut umum merasa ragu mengenai peraturan hukum pidana
yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut
pertimbangannya telah nyata tersebut, atau jika penuntut umum tidak mengetahui
perbuatan mana, apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di
persidangan.[9]
Lebih lanjut Van Bemmelen, menyatakan bahwa dalam hal dakwaan alternatif
yang sesungguhnya maka masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu
sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan
bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan
terlebih dahulu dakwaan pertama.[10]
Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternatif, pada
dasarnya bertitik tolak dari pemikiran atau perkiraan:[11]
a. Untuk
menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggung jawaban hukum
pidana.
b. Memberikan
pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat
Ciri dari dakwaan alternatif adalah dalam penulisannya menggunakan kata
‘atau’. Dakwaan alternatif ini dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak
pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan
corak/ciri yang sama atau hampir sama. Misalnya, pencurian atau penadahan,
penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan
mati, dan sebagainya[12].
b.
Unsur-Unsur
Pasal 156 KUHP
Sedangkan mengenai Pasal dalam dakwaan kedua yang didakwakan oleh
Penuntut Umum terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) adalah Pasal 156
KUHP. Adapun unsur utama yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP adalah, Di muka
umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu
atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Menurut R. Soesilo, pasal ini disebut dengan delik-delik penyebar
kebencian “haartzaai-artikelen” yang
maksudnya untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk
jangan sampai kena rupa-rupa hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan
jalan berpidato, tulisan, gambar dsb. Di depan umum atau di surat kabar.[13]
Berbeda dengan Pasal 156a, Pasal 156 hanya didakwakan apabila perbuatan
pidana yang dimaksud dilakukan terhadap suatu atau beberapa golongan penduduk
Indonesia. Golongan penduduk Indonesia yang dimaksud yaitu, golongan orang
Eropa, Tionghoa, Indonesia (berdasar kebangsaan), orang Kristen, Islam, Budha,
(berdasar agama), orang Jawa, Minangkabau, Dayak, Bali, Madura, (berdasar sukt
bangsa) dan sebagainya.
C.
Tuntutan
Penuntut Umum Perkara Pidana Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr
Penuntut umum menuntut Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) bukan
dengan menggunakan Pasal 156a KUHP yang merupakan dakwaan primer, melainkan
menuntut menggunakan dakwaan subsidair atau dakwaan kedua. Adapun ringkasan
Tuntutan Pidana Penuntut Umum berbunyi:
“Dengan telah terpenuhinya semua unsur-unsur sebagaimana uraian di atas,
maka dapat disimpulkan perbuatan Ir Basuki Tjahaha Purnama alias Ahok telah
terbukti dengan sah dan meyakinkan, serta setelah memenuhi rumusan-rumusan
perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 156
KUHP. Bahwa, sepanjang pemeriksaan di persidangan telah didapat fakta-fakta
kesalahan terdakwa, kemudian dari fakta-fakta tersebut, tidak terdapat hal-hal
yang dapat meniadakan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana ataupun tidak
ditemukan alasan-alasan pemaaf maupun alasan-alasan pembenar atas perbuatan
terdakwa. Oleh karena itu, terhadap perbuatan terdakwa tersebut, maka terdakwa
wajib mempertanggungjawabkan dan untuk itu terdakwa harus dijatuhi pidana. Timbulnya keresahan masyarakat juga tak bisa dilepaskan dari
adanya unggahan, oleh orang yang namanya Buni Yani. Berdasarkan uraian-uraian
tersebut di atas, maka penuntut umum dalam perkara ini, menuntut supaya majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang memeriksa dan mengadili perkara ini,
memutuskan:
1.
Menyatakan, terdakwa Ir
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di
muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
satu golongan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam
dakwaan alternatif kedua.
2.
Menjatuhkan pidana
terhadap Basuki Tjahaja Purnama Ahok dengan pidana penjara selama satu tahun
dengan masa percobaan dua tahun.
3.
Menyatakan, (A). Barang
bukti nomor satu sampai dengan 11 dan nomor 13, tetap terlampir dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam berkas perkara. (B). Barang bukti nomor 12
dan nomor 14 dikembalikan kepada penasihat hukum terdakwa.
4.
Menetapkan supaya
terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000 (sepuluhribu
rupiah)”
Jaksa
penuntut umum beranggapan, setelah mendengar keterangan saksi, keterangan ahli,
dan keterangan terdakwa maupun seluruh proses pembuktian di persidangan,
terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang tercantum
di Pasal 156 KUHP. Walupun pada akhirnya majelis hakim tidak sepakat dengan
pendapat penuntut umum tersebut.
1. Tuntutan Pidana Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP
Tuntutan pidana yang terdapat di
Pasal 156a berbeda dengan Pasal 156. Dalam Pasal 156a hukuman pidananya adalah
paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan dalam Pasal 156 paling lama 4 (empat)
tahun.
Penuntut umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah terbukti
melalui keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat,
petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan
benda-benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut requisitoir penuntut umum tersebut,
diuraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal-hal yang
memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam undang-undang. Jadi, hanya
berdasarkan kebiasaan misalnya terdakwa tidak mempersulit pemeriksaan, sopan,
mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu pula keadaan belum cukup umur
dipandang sebagai hal yang meringankan terdakwa. Hal-hal tersebut tidak boleh
dicampur adukan dengan hal-hal yang memberatkan pidana seperti residivis,
gabungan delik, dilakukan dengan berencana. Hal ini dilakukan karena untuk
mempermudah hakim dalam membuat keputusan.[14]
2.
Ultra
Petita
Dalam petitum poin yang kedua, Penuntut Umum menuntut Terdakwa Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun, namun majelis hakim
tidak sependapat dengan tuntutan tersebut, majelis hakim memvonis terdakwa
dengan pidana penjara 2 (dua) tahun tanpa hukuman masa percobaan. Artinya vonis
yang dijatuhkan oleh majelis hakim melebihi dari tuntuan Penuntut Umum atau
yang sering disebut dengan Ultra Petita.
Ultra
Petita atau Ultra Petitum Partium adalah frasa yang
berasal dari HIR yang mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta.
Ketentuan ini terdapat pada Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189
ayat (2) dan ayat (3) RBg. Awalnya Ultra
Petita hanya ditemukan di perkara
perdata, namun belakangan ini Penulis telah menemukan banyak putusan pidana
yang melebihi tuntutan penuntut umum dalam perkara pidana. Dalam perkara
perdata, HIR dengan jelas melarang
majelis hakim untuk mengabulkan gugatan yang melebihi petitum yang dimintakan.
Dalam hukum perdata menurut Yahya Harahap[15] jika hakim melanggar
prinsip ultra petita maka sama dengan
pelanggaran terhadap prinsip rule of law.
Hakim yang melakukan ultra petita
dianggap telah melampaui wewenangnya atau ultra
vires[16].
Sebuah putusan dianggap ultra vires
jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau
mengabaikan peraturan dan keadilan. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat
meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai
kepentingan umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Pasal 24 ayat (1)
menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Prinsip ini
menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan
dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada
jaminan ketidakberpihakan. Dengan demikian, hakim memiliki kemandirian dan
kebebasan dalam menjatuhkan putusan yang sedang ditanganinya.
Namun demikian dalam praktik peradilan, putusan ultra petita dianggap sebagai suatu hal yang kontroversial, karena
sering menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar/ahli hukum.
Dalam penjatuhan putusan, kebebasan hakim dibatasi oleh surat dakwaan
dari penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP mengenai
musyawarah hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat
dakwaan. Hakim yang menjauhkan putusan di luar pasal yang tidak didakwakan oleh
jaksa penuntut umum tentu saja bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP
Dalam yurisprudensi juga dianut paham putusan pengadilan harus merujuk pada
surat dakwaan. Misalnya putusan MA No. 68 K/Kr/1973 dan No. 47 K/Kr/1956, dua
putusan yang lahir sebelum era KUHAP.
Dalam aturan KUHAP Pasal 182 ayat (4), bahwa musyawarah hakim harus
didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang.
Dalam perkara pidana, peneliti Mahkamah Agung, di bawah koordinasi
Sudharmawatiningsih[17],
melakukan penelitian. Hasil penelitian itu sudah dibukukan oleh Puslitbang
Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung. Hasil penelitian itu adalah menemukan secara normatif,
tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus
pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan untuk
menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya.
Putusan pemidanaan lebih
tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa pidana penjara, bisa pula berupa denda,
uang pengganti, bahkan pidana pengganti. Sekalipun hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi
berdasarkan pertimbangan tertentu, putusan itu tak melanggar KUHAP. Yang
terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman
maksimal yang ditentukan undang-undang dan memvonis diluar dari ancaman pidana yang ditetapkan oleh
KUHP atau
undang-undang.
D.
Analisis
Penulis Tentang Pertimbangan Majelis Hakim dan Eksekusi Putusan Oleh Jaksa
Perkara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki
Tjahaya Purnama.
1.
Pertimbangan
Majelis Hakim tentang Penahanan
Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa harus ditahan sesuai dengan
amar putusan poin yang ketiga yang menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa
ditahan” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan ini
terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan, dan terhadap penahanan terdakwa,
dipertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) a KUHAP yang
menyebutkan: ”Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu” dan penjelasannya yang
menyebutkan bahwa perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana
hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu
dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti atau pun mengulangi tindak pidana lagi.”
Dari pertimbangan hakim tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan adanya
alasan untuk dilakukan penahanan karena selama penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa tidak dilakukan penahanan, sehingga
majelis hakim menggunakan Pasal 193 ayat (2).
Kejanggalan dalam pertimbangan hakim tersebut adalah karena di dalam
Pasal 193 ayat (2) ada unsur “apabila dipenuhi Pasal 21 dan terdapat alasan
cukup untuk itu” sedangkan di Pasal 21
ayat (1) alasan penahanan disebutkan secara jelas yaitu:
1. hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri;
2. merusak
atau menghilangkan barang bukti;
3. dan atau
mengulangi tindak pidana.
a.
Unsur 1.
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri
Dalam hal ini terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dikhawatirkan oleh
Majelis Hakim akan melarikan diri, padahal selama penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, baik pihak Penyidik maupun JPU sama-sama mengatakan bahwa Terdakwa
dipastikan tidak akan melarikan diri karena terdakwa merupakan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta yang masih aktif.[18]
Selain alasan tersebut di atas, penulis beranggapan Terdakwa tidak
mungkin melarikan diri, karena Terdakwa merupakan seorang pejabat publik yaitu
Gubernur aktif DKI Jakarta yang notabene sangat disukai warga Jakarta, di
samping itu terdakwa sangat terkenal bahkan ketenarannya sampai ke dunia
internasional[19] sehingga
apabila Terdakwa melarikan diri maka semua orang di belahan dunia akan
mengenali Terdakwa sehingga jikapun melarikan diri, maka akan mudah untuk
mencarinya dan menangkapnya.
b.
Unsur 2.
Merusak atau menghilangkan barang bukti
Tujuan
penahanan menurut Yahya Harahap[20]
adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan juga untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Melihat dari hal tersebut, maka Terdakwa
tidak perlu lagi ditahan karena penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan sudah selesai, bahkan putusan telah diucapkan sehingga
penahanan sudah tidak relevan dan sudah tidak diperlukan lagi.
Lagi pula barang bukti maupun
alat-alat bukti yang disampaikan oleh JPU ke hadapan sidang pengadilan sudah
disita, disimpan dan sudah berada pada penguasaan dan pengawasan JPU, sehingga
tidak mungkin lagi jika Terdakwa bisa menghilangkan barang bukti seperti yang
dikhawatirkan oleh majelis hakim.
c.
Unsur 3.
Mengulangi Tindak Pidana.
Selain kontroversi yang muncul
mengenai tindak pidana yang dilakukan Terdakwa apakah benar-benar memenuhi
unsur penodaan agama seperti yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Utara, banyak ahli, dosen dan bahkan penyidik Bareskrim Polri tidak
bulat mengatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan
oleh JPU[21] sehingga
jika dikhawatirkan akan melakukan atau mengulangi tindak pidana lagi, itu
serpertinya kemungkinannya itu kecil, hampir bisa dipastikan tidak akan
terjadi. Jadi menurut hemat penulis alasan ini sangat tidak masuk akal, karena
selain itu juga Terdakwa dalam berbagai kesempatan sudah pernah mengucapkan
permintaan maaf karena perkatannya membuat gaduh dan menyakiti hati banyak
orang.[22]
Sedangkan di ayat (2) menyebutkan penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa
dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim. Yang artinya
jika dalam penyidikan kasus ini, para penyidik dari Bareskrim Polri tidak
melakukan penahanan terhadap tersangka karena menurut mereka alasan penahanan
seperti yang dicantumkan Pasal 21 ayat (2) tidak terpenuhi.[23]
Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus agar
terdakwa ditahan adalah keliru, karena penahanan pada prinsipnya bertentangan
dengan asas-asas yang diakui secara universal seperti Hak Asasi Manusia
khususnya hak kebebasan seseorang, oleh karena itu penahanan dilakukan jika
perlu sekali.[24]
Pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum untuk melakukan
penahanan terhadap terdakwa yang dituangkan dalam pertimbangan yang ke 82 dan
83 yang terdapat pada halaman 615 yang menyebutkan:
“Menimbang bahwa Pasal 21 ayat (4) a KUHAP menyebutkan, penahanan
tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih;”
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengadilan, terdakwa telah
dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal
156 a huruf a KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun”
Kedua pertimbangan hukum di atas menurut hemat penulis saling
kontradiksi atau bertentangan satu sama lain, dalam pertimbangan yang pertama,
majelis hakim menekankan pada tindak pidana yang diancam dengan penjara lima
tahun atau lebih sesuai yang tercantum di Pasal 21 ayat (4), sehingga perlu
untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa. Namun di dalam pertimbangan yang
kedua, majelis hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana penodaan agama sehingga menghukum Terdakwa dengan
hukuman 2 (dua) tahun penjara.
Seharusnya jika mengacu pada pertimbangan hukum yang pertama dan Pasal
21 ayat (4), maka seharusnya Terdakwa dihukum dengan 5 (lima) tahun penjara,
karena di Pasal itu mengharuskan pidana yang diancam 5 (lima) tahun penjaralah
yang dilakukan penahanan sehingga syarat objektifnya terpenuhi. Lagi pula
pertimbangan hakim tersebut tidak relevan lagi digunakan setelah proses
pembuktian di pengadilan selesai, karena itu adalah ranah Penyidik dalam tahap
penyidikan maupun Penuntut Umum dalam tahap penuntutan dalam menentukan apakah
unsur pada Pasal 165 huruf (a) dimana acaman hukumannya maksimal 5 (lima) tahun
bersesuaian dengan unsur di dalam Pasal 21 ayat (4) sehingga diperlukan
penahanan atau tidak.
Pasal 21 ayat (4) juga mengisyaratkan bahwa hukuman pidana adalah 5
(lima) tahun, sedangakan ancaman pidana yang terdapat di dalam pasal 156a KUHP
adalah selama-lamanya 5 tahun. Artinya frasa “selama-lamanya” mengandung
pengertian hukuman itu paling lama (5) lima tahun, sehingga Penulis berpendapat
pidana lima tahun yang dimaksud tidak bersesuaian antara pasal 156a KUHP dengan
Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
2.
Eksekusi Putusan oleh Jaksa Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama
Eksekusi
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab Jaksa[25]. Pelaksanaan putusan hakim harus didasarkan pada keadilan dan kemanusiaan.[26]
Asas ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK). .
Dasar hukum eksekusi penahanan Terdakwa Basuki Thajahaya Puranama (Ahok)
didasarkan pada adanya amar putusan majelis hakim yang memerintahkan agar
Terdakwa ditahan. Sehingga dengan segera setelah persidangan selesai dan
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menutup persidangan, Jaksa
langsung mengeksekusi Terdakwa dengan cara menahan dan membawa ke Rumah Tanahan
Cipinang.
a.
Terdakwa
Banding
Setelah pembacaan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Utara selesai, tidak berselang lama Terdakwa Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok) dan Penasihat Hukumnya menyatakan Banding atas vonis tersebut,
sehingga putusan tersebut menurut KUHAP belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Apabila suatu putusan yang dinyatakan Banding, maka putusan itu belum
memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karenanya amar pemidanaan yang terkandung
dalam putusan itu belum bisa dieksekusi oleh Jaksa karena KUHAP memberi
penjelasan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan membatasi Jaksa
melaksanakan suatu putusan dengan beberapa syarat, seperti dalam Pasal 270
KUHAP berbunyi:
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya”
Jika menilik Penjelasan KUHAP mengenai Pasal 270 tersebut di atas adalah
tertulis “cukup jelas”, artinya Pembuat Undang Undang merasa tidak perlu lagi
menjelaskan maksud dari Pasal tersebut karena sudah jelas. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) hanya dapat
dilakukan apabila putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak
boleh melasanakan suatu putusan apabila masih ada proses banding ataupun
kasasi. Maka Jaksa hanya boleh mengeksekusi suatu putusan apabila: (1). Putusan
itu telah berkekuatan hukum tetap; dan (2). Panitera telah mengirimkan salinan
putusan.
b.
Perintah
Penahanan Jika Terdakwa Banding
Sejak awal, pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Pengadilan pada proses
penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, tidak pernah melakukan
penahanan terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), sampai dengan
akhirnya di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Utara Terdakwa diputus bersalah
dan divonis 2 (dua) tahun penjara serta perintah agar segera dilakukan
penahanan.
Penulis beranggapan, terdapat kejanggalan amar putusan dan juga eksekusi
terhadap putusan tersebut. Karena segera setelah putusan pemidanaan selesai
dibacakan Terdakwa menyatakan Banding, maka pada saat itu juga Putusan yang
diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum berkekuatan
hukum tetap dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, sesuai dengan
Pasal 238 KUHAP ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan sebagai berikut:
Ayat (2)
“Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi sejak
saat diajukannya permintaan banding.”
Ayat (3)
“Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya apakah Terdakwa perlu
tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas
permintaan Terdakwa.”
Dari
ketentuan Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP tersebut, jelas bahwa wewenang
penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak saat Terdakwa menyatakan
Banding. Oleh karenanya, ketika ada permintaan Banding, maka Ketua Pengadilan
Negeri harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi bahwa seorang Terdakwa
telah mengajukan banding, maka sejak saat itu juga kewenangan menahan seorang
Terdakwa telah beralih kepada Pengadilan Tinggi.
Asumsi penulis, jika wewenang
penahanan telah beralih kepada Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya
permintaan Banding, maka secara otomatis amar penahanan yang terdapat dalam
putusan pemidanaan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sudah tidak memiliki
kekuatan eksekutorial lagi.
E.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang Terhadap Pasal 197 huruf (k) KUHAP.
Sesuai dengan pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum
untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa Basuki Tjahaya Purnama yang
dituangkan dalam pertimbangan yang ke- 84 dan ke- 85 yang terdapat pada halaman
615 dan halaman 616 putusan pemidanaan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR, yang
menyebutkan:
Pertimbangan ke-84
“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyebutkan bahwa
Surat putusan pemidanaan menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan”
Pertimbangan ke-85
“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k, dan l Pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
Dari
uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa majelis hakim
berpendapat bahwa apabila Terdakwa tidak ditahan maka putusan tersebut batal
demi hukum karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Menurut M. Yahya Harahap,[27]
selama ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
masih eksis dan valid atau dengan kata lain, selama ketentuan Pasal 197 ayat
(1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP “tidak diubah” atau “tidak
dihapus”, maka setiap putusan pemidanaan peradilan tingkat apapun (tingkat
pertama, tingkat banding atau tingkat kasasi) yang tidak mencantumkan ketentuan
Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP: dengan sendirinya putusan itu “batal demi
hukum”; setiap putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang “tidak sah”
dan “sejak semula dianggap tidak pernah ada”; oleh karena itu, putusan yang
demikian “tidak mengikat” sehingga pada putusan itu “tidak melekat kekuatan
eksekutorial”; dan apabila JPU mengeksekusinya, berarti tindakan itu “sewenang-wenang”
dan “inkonstitusional” serta “melanggar HAM” karena bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945 serta Pasal 17 dan Pasal 34 UU HAM
(Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999).
Bulan November 2012 , Mahkamah Konstitusi, melalui putusan Nomor
69/PUU-X/2012, telah mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa
Pasal 197 huruf (k) mengenai perintah penahanan terdakwa tidak memiliki
kekuatan mengikat. Selengkapnya amar putusannya berbunyi:
“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak
memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan
putusan batal demi hukum;”
Sehingga
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa putusan yang tidak
memuat amar putusan “memerintahkan agar terdakwa ditahan” sesuai dengan Pasal
197 ayat (1) huruf k, tidak batal demi
hukum. Berikut bunyi lengkap Pasal 197 ayat (2) setelah diuji oleh Mahkamah
Konstitusi:
“Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”;
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”;
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka suatu putusan
pemidanaan yang tidak memuat amar penahanan terdakwa tidak mengakibatkan
putusan itu batal demi hukum.
Sedangkan menurut Yahya Harahap,[28]
Sifat
dan tingkat kebatalan (nietigheid/nulliteit,
voidness/nullity) putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan pasal 197 ayat
(1) huruf k KUHAP adalah batal demi hukum (van
rechtswegenietig, legally null and void/void ipso jure). Bukan bersifat atau berderajat dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable) , akan tetapi
demi hukum putusan tersebut dengan sendirinya batal.
F.
Perbedaan
Amar Putusan Buni Yani dengan Amar Putusan Basuki Tjahaya Purnama Tentang
Perintah Penahanan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1
tahun 6 bulan penjara terhadap Buni Yani, terdakwa kasus dugaan pelanggaran
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia dinyatakan
bersalah mengubah video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan
Seribu saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Mengadili, menyatakan terdakwa
Buni yani terbukti melakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik
dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Menjatuhkan
pidana kepada terdakwa satu tahun enam bulan”
Majelis
hakim beranggapan bahwa Buni Yani melanggar Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1
tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau
dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
Berbeda dengan putusan pemidanaan
Basuki Tjahaya Punama, yang dalam amar putusan dicantumkan perintah untuk
ditahan, dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa Buni Yani, walaupun
sma-sama terbukti bersalah dan dihukum penjara 18 bulan, tetapi yang
bersangkutan tidak diperintahkan untuk ditahan. Majelis hakim beranggapan bahwa
terdakwa tidak perlu ditahan, tanpa menggunakan dasar hukum seperti dalam
putusan Basuki Tjahaya Purnama yang mengutip Pasal 197 huruf (k).
Dalam pertimbangan untuk menahan
terdakwa Buni Yani, majelis hakim hanya mengatakan:
"Menimbang bahwa selama persidangan terdakwa tidak ditahan dan
menurut majelis hakim tidak cukup alasan untuk menahan, maka terdakwa tidak
ditahan,"
Di sini
muncul perbedaan pendapat antara hakim yang mangadili terdakwa Basuki Tjahaya
Purnama dengan hakim yang mengadili terdakwa Buni Yani. Penulis melihat ada
perbedaan yang sangat mendasar mengenai perintah penahanan tersebut. Tidak
adanya dasar hukum dalam pertimbangan yang diberikan majelis hakim Pengadilan
Negeri Bandung, mendorong Penulis berpendapat bahwa hakim hanya menggunakan
diskresi subjektif mengenai tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa Buni
Yani.
[2] Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 323.
[4] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 59.
[5] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya
Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 132.
[7] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4464/penghinaan-terhadap-agama,
pada Tanggal 26 Januari 2018, Pukul 11:07 WIB.
[8] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hlm.
116.
[12] Paul Sinlaeloe, Memahami Surat
Dakwaan, Cetakan Pertama, PIAR, Nusa Tenggara
Timur, 2015, hlm. 24.
[14] Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana
Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta, 1993, hlm. 119.
[15] M. Yahya Harahap, Peran
Yurisprudensi Sebagai Standar Hukum Sangat Penting Pada Era Globalisasi,
Varia Peradilan, No. 92, 1993.
Hlm. 24.
[17] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt577c88908b259/vonis-lebih-tinggi-dari-tuntutan--boleh-nggak-sih. Pada tanggal 13 Februari 2018, jam 12.41 WIB.
[18] Diakses dari situs, https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161116122958-516-173001/empat-alasan-ahok-tak-ditahan/, pada tanggal 10 September 2017, jam 14:43 WIB.
[19] Diakses dari situs, http://www.bbc.com/news/world-asia-39853280, pada tanggal 10 September 2017, jam 15:10 WIB.
[21] Diakses dari situs https://news.detik.com/berita/d-3346446/tetapkan-ahok-jadi-tersangka-keputusan-penyelidik-polri-tidak-bulat, pada tanggal 11 September 2017, jam 9.10 WIB.
[22] Diakses dari situs https://nasional.tempo.co/read/842141/ahok-minta-maaf-mui-imbau-umat-islam-tak-terpancing-hasutan, pada tanggal 11 September 2017, jam 9.10 WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/21/11244681/polri.belum.ada.urgensi.menahan.ahok, pada tanggal 10 September 2017, jam 12:42 WIB.
[25] Marwan Efendy, Kejaksaan; posisi dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 126
[27] Pendapat Ahli dalam
Persidangan Pengujian UU di Gedung MK, seperti Tertuang di Putusan Nomor 69/PUU-X/2012,
Diakses dari Situs www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content
/persidangan/putusan/69/PUU-X/2012, Pada tanggal 1 Desember, pukul 14.12 WIB.
[28] Berdasarkan keterangan tertulis dari Yahya Harahap, dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 yang telah dibacakan pada sidang
tanggal 22 November 2012, hlm. 27
Komentar
Posting Komentar