SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 3 (BAB II TINJAUAN UMUM)


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENAHANAN DAN EKSEKUSI

A.      Definisi Penahanan
KUHAP secara jelas telah memberikan definisi mengenai penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21.
“penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini”.
Berdasarkan pengertian dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP ini, maka penahanan pada tersangka atau terdakwa merupakan upaya paksa untuk melakukan pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup telah melakukan suatu tindak pidana.
       Andi Hamzah[1] berpendapat bahwa penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, di sini terdapat pertentangan dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Di sinilah  letak keistimewaan hukum acara pidana itu. Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan seseorang karena dilakukan upaya paksa  penahanan. Oleh karena itu, penahanan dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi tersangka/terdakwa maupun bagi penegak hukum itu sendiri.
       Sehingga dapat disimpulkan bahwa penahanan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan  bergerak  seseorang  walaupun bertentangan  dengan  dua asas,  yaitu  hak  bergerak  seseorang  yang  merupakan  hak  asasi  manusia yang   harus   dihormati   di   satu   pihak   dan   kepentingan   banyak   atau masyarakat  dari  perbuatan  jahat  tersangka.  Hal  ini  dilakukan  untuk  kepentingan penyidikan.

B.     Tujuan, Alasan, dan Syarat Penahanan
1.      Tujuan Penahanan
       KUHAP tidak memberikan penjelasan langsung mengenai tujuan dari dilakukannya penahanan, akan tetapi, jika melihat dari Pasal 20 KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa penahanan bertujuan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tersangka atau terdakwa. Penahanan merupakan suatu tindakan yang hanya diperlukan apabila dalam keadaan darurat atau mendesak. Penahanan berkaitan langsung dengan hak asasi manusia sehingga dalam melakukan penahanan pejabat yang berwenang melakukan penahanan perlu untuk dibatasi kewenangannya.[2]
       Rincian penahanan yang digariskan oleh Pasal 20 KUHAP adalah sebagai berikut:
1.      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai kepentingan penyidikan  pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidik itu sendiri secara obyektif.
2.      Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan  penuntutan.
3.      Penahanan yang dilakukan oleh pengadilan yang dimaksudkan untuk  kepentingan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan yang dilakukan dengan penetapan hakim.[3]
2.      Alasan Penahanan
       Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, apabila dikhawatirkan bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Alasan untuk melakukan penahanan adalah adanya kekahawatiran dari aparat penegak hukum yang berhak untuk menahan. Apabila pejabat yang bersangkutan beranggapan bahwa tidak ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan alat bukti dan mengulangi tindak pidana, maka tersangka atau terdakwa tidak perlu ditahan.
       Pasal 22 KUHAP mengatur mengenai jenis penahanan yaitu berupa:
a.       Penahanan rumah tahanan negara
Penahanan rumah ditempatkan disuatu gedung tertentu yang bernama Rumah Tahanan Negara (Rutan). Jika suatu  tempat tidak ada gedung yang tersedia maka dipakai Lembaga    Pemasyarakatan, Rutan Pengadilan atau Kejaksaan.
b.      Penahanan rumah
Penahanan rumah dilakukan di  rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka  atau  terdakwa dengan mengadakan  pengawasan terhadapnya untuk menghindari sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan  dalam  penyidikan,  penuntutan  atau  pemeriksaan di  ruang pengadilan.
c.       Penahanan kota
Penahanan  kota  dilaksanakan  di  kota  tempat  tinggal  atau  tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan  kewajiban  bagi  tersangka atau terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan.
3.      Syarat Penahanan
       Tidak semua tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana dapat dikenakan tindakan penahanan. Pembatasan itu diatur di dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, dan tindak pidana tertentu yang telah diatur secara limitatif pada Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
       Syarat untuk dapat dilakukan penahanan dibagi dalam dua bagian, yaitu :
1.      Syarat  obyektif.
Dinamakan  syarat  obyektif,  karena  ada  atau  tidaknya  syarat  ini  dapat diuji oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang terdiri dari:
a.       Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.      Tindak  pidana  yang  diancam  pidana  badan,  baik  berupa    penjara  atau  kurungan  kurang dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
1)      Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana Pasal  282  ayat  (3),  Pasal  296,  Pasal  335  ayat (1),  Pasal  351  ayat  (1),  Pasal  353  ayat  (1),  Pasal  372,  Pasal  378,    Pasal  379a,  Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 d an Pasal 506;
2)      Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatblad Tahun 1931 Nomor 471) Pasal 25 dan Pasal 26;
3)      Undang-Undang  Tindak  Pidana  Imigrasi  (Undang-Undang  Nomor  8  Drt.  Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8) Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4;
4)      Undang-Undang  Nomor  9  Tahun  1976  tentang  Narkotika  (Lembaran  Negara  Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan  Lembaran Negara Nomor 3086) Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48.
2.      Syarat  Subyektif.
Dinamakan  syarat  subyektif  karena  hanya  tergantung  pada  penegak hukum  yang memerintahkan  penahanan  tersebut,  apakah  syarat  itu  ada  atau  tidak.  Syarat  subyektif  ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu :
a.       Tersangka  atau  terdakwa  diduga  keras  melakukan tindak  pidana  berdasarkan  bukti  yang cukup;
b.      Tersangka atau terdakwa tersebut dikhawatirkan akan:
1)   Melarikan diri;
2)   Merusak atau menghilangkan barang bukti;
3)   Mengulangi tindak pidana.
       Walaupun syarat ini bersifat subyektif, namun tidak berarti pejabat yang berwenang memerintahkan penahanan dapat secara sewenang-wenang menyatakan  terpenuhinya syarat subyektif ini. Artinya, sekalipun syarat ini bersifat subyektif,  tetapi tetap harus berdasarkan  bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal  183  KUHAP,  yaitu minimal ada dua alat bukti yang sah.

C.           Kewenangan Subjektif Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Melakukan Penahanan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[4] subjektif adalah mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya. Sedangkan dalam bidang hukum acara pidana, kita sering mendengar subjektif penyidik dalam melakukan penahanan. Subjektif di sini diartikan sebagai cara pandang atau penilaian seorang penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam memaknai apakah seorang tersangka atau terdakwa itu layak ditahan atau tidak. Tidak ada standar atau ukuran subjektifitas penegak hukum yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur, semuanya berpulang kepada penegak hukum itu sendiri.
       Dalam Pasal 21 KUHAP hanya menyatakan syarat subjektifitas seorang tersangka atau terdakwa apakah dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Sementara untuk penyidik, KUHAP tidak memberikan batasan mengenai subjektifitas tersebut, apakah penyidik menilai tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti maupun mengulangi tindak pidana, semuanya hanya didasarkan pada pengamatan penegak hukum saja.
       Pasal 77 KUHAP sebenarnya telah memberi peluang bagi para pihak untuk menguji sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan melalui proses praperadilan namun sayangnya dalam praktik yang berjalan selama ini, keberatan terhadap syarat subjektivitas penahanan tidak pernah dapat diterima sebagai alasan untuk mengabulkan praperadilan. Syarat subjektivitas penahanan merupakan jurisdiksi mutlak yang dimiliki oleh penegak hukum yang tidak dapat diganggu gugat sedikitpun.
       Sebagai contoh, dalam pertimbangan hakim putusan perkara praperadilan karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 27 November 2012 yang lalu misalnya memberi gambaran atas pertimbangan hukum hakim praperadilan yang menyatakan bahwa:[5]
"Sependapat dengan dalil termohon yang menyatakan penyidik berwenang menilai suatu keadaan yang menjadi syarat subjektif penahanan. Meski selama pemeriksaan pemohon bersikap kooperatif dan tidak akan melarikan diri, syarat subjektif penahanan tidak dapat diuji di dalam forum praperadilan".
       Sementara kewenangan penahanan yang dimiliki hakim terbagi ke dalam dua bagian yaitu sebelum putusan dibacakan dan yang kedua setelah putusan dibacakan. Penahanan terdakwa sebelum putusan dibacakan dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan perintah penahanan dalam amar putusan yang dibacakan oleh hakim dimaksudkan untuk memastikan agar selama pemeriksaan di pengadilan tinggi belum dilakukan Terdakwa tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulang tindak pidana.
       Sesuai dengan Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP, hakim dapat memilih salah satu “alternatif” dalam melakukan penahanan.[6] Adanya alternatif yang diberikan oleh KUHAP inilah yang menjadi subjektifitas hakim dalam melakukan penahanan apakah melakukan penahanan atau tidak.      
       Sebagai contoh dalam kasus pelanggaran Undang-Undang ITE dengan terdakwa Buni Yani, majelis hakim memutuskan Buni Yani bersalah atas pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Majelis hakim yang diketuai M. Saptono menjatuhkan vonis hukuman satu tahun enam bulan penjara. Meskipun divonis bersalah, hakim tidak memerintahkan penahanan terhadap Buni Yani. Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa:
"menimbang bahwa selama persidangan terdakwa tidak ditahan, tidak cukup alasan untuk ditahan, maka terdakwa tidak ditahan,"

1.             Kewenangan Jaksa Penutut Umum dalam melakukan Penahanan
       Pada tahap prapenuntutan penyidik yang telah melakukan penyidikan suatu peristiwa hukum yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. Selanjutnya  penyidik  menyiapkan  berkas  perkara  dan  melimpahkannya kepada penuntut  umum,  setelah  menerima  pelimpahan berkas perkara, Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada penyidik lengkap atau tidaknya berkas perkara.
            Jaksa sebagai salah satu alat penegak hukum mempunyai tugas pokok antara lain melakukan penuntutan[7]. Dalam rangka menyiapkan penuntutan, penuntut umum mempunyai wewenang yang dapat diinventarisir antara lain sebagai berikut:
2.        Berdasarkan  Pasal  109  ayat  (1)  KUHAP,  penuntut  umum  menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal telah mulai dilakukannya terhadap suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana;
3.        Menerima  berkas  perkara  dari  penyidik  dalam  tahap  pertama  maupun  kedua sebagaimana  dimaksud  di  dalam  Pasal  8  ayat  (3)  huruf  a  dan  b  KUHAP;
4.        Mengadakan prapenuntut sesuai Pasal 14 huruf b KUHAP;
5.        Memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP;
6.        Berdasarkan  Pasal  31  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  KUHAP,  atas  permintaan  tersangka atau terdakwa, penuntut umum dapat menangguhkan penahanan 
       Perpanjangan penahanan terhadap tersangka merupakan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24 ayat (2) KUHAP kepada jaksa penuntut umum. Ketentuan KUHAP mengenai perpanjangan penahanan menunjukkan, bahwa perpanjangan penahanan tersangka oleh penuntut umum adalah wewenang penuntut umum untuk memberikan penambahan masa penahanan tersangka selama 40 hari.
2.      Kewenangan Hakim Pengadilan Negeri Tentang Penahanan
       Setiap hakim Pengadilan Negeri sesuai kompetensi yang dimilikinya, demi untuk kepentingan pemeriksaan berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lam 30 hari sesuai dengan Pasal 26 angka (1) KUHAP. Dan apabilan diperlukan lagi guna kepentingan pemeriksaan, hakim ang bersangkutan dapat meminta perpanjangan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat, tapi perpanjangan tidak boleh lebih dari 60 hari. Selesai atau tidak selesai pemeriksaan, tidak ada jalan lain untuk memperpanjan panahanan, dan terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan dan bebas demi hukum apabila batas waktu penahanan telah habis.
       Permintaan perpanjangan tidak otomatis dikabulkan oleh ketua Pengadilan Negeri, apabila ketua Pengadilan Negeri berpendapat, penahanan terdakwa tidak relevan untuk kepentingan pemeriksaan persidangan. Atau pengabulan perpanjangan hanya untuk sebagian, misalnya hanya 10 hari atau 30 hari.[8]
       Selama pemeriksaan sidang pengadilan belangsung, ada kemungkinan ditemukan hal-hal atau keadaan yang berhubungan dengan terdakwa atau hal lain. Misalnya, ketua sidang atau pentuntut umum berpendapat bahwa terdakwa perlu ditahan agar kelancaran pemeriksaan terjamin karena terdakwa sering tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah.[9]
       Wewenang memerintahkan untuk menahan atau untuk membebaskan terdakwa dari penahanan diatur pada pasal 190 KUHAP. Selama pemeriksaan di sidang pengadilan berlangsung, ketua sidang berwenang memerintahkan untuk menahan terdakwa atau memerintahkan untuk membebaskan terdakwa. Pasal 190 huruf (a) KUHAP yang selengkapnya berbunyi:
“Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.

       Terdakwa yang tidak ditahan oleh penuntut umum, tidak menghilangkan wewengan hakim/pengadilan untuk memerintahkan penahanan terdakwa, berdasarkan ketentuan Pasal 190 di atas. Perintah penahanan itu semata-mata wewenang yang melekat pada diri hakim dan tidak perlu meminta pendapat atau dukungan dari penuntut umum.[10]
       Dalam hal putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana hakim/pengadilan dapat memerintahkan agar terdakwa ditahan walaupun sebelumnya terdakwa selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak ditahan. Wewenang penahanan ini diberikan oleh Pasal 193 angka (2) huruf a yang selengkapnya berbunyi:
“Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu”

Jika mencermati pasal tersebut diatas dapat ditarik 2 (dua) ketentuan tentang penahanan dalam putusan, yaitu:
a.      Terdakwa Tidak Ditahan
       Terdakwa berada dalam status tidak ditahan dan setelah pemeriksaan sidang pengadilan telah berakhir dengan agenda putusan, maka hakim dapat memasukkan amar putusan agar memerintahkan terdakwa untuk ditahan.
       Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan perintah supaya terdakwa ditahan, sekalipun terdakwa berada dalam status tidak ditahan. Hal ini sesuai dengan bunyi kata “dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan”. Kata dapat tidak mesti diartikan dengan harus ditahan, tetapi hakim bisa juga untuk tidak merintahkan untuk ditahan. Tidak ada kemestian bagi pengadilan untuk memerintahkan terdakwa supaya ditahan sekalipun terhadap terdakwa dijatuhi hukuman pidana.[11]

b.      Apabila Dipenuhi Ketentuan Pasal 21
       Pasal 21 KUHAP telah dengan tegas membatasi bahwa penahanan yang sah harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu syarat subjektif dan objektif. Pasal ini mengharuskan kedua syarat itu harus terpenuhi, kalau salah satu tidak terpenuhi maka penahanan itu tidak sah. Demikianlah pengkajiannya secara teoritis, tapi lain halnya dalam kenyataan dan praktik[12]. Lebih lanjut penulis tidak akan mendalami lagi mengenai ketentuan Pasal 21 tersebut, karena sudah penulis bahas pada uraian mengenai syarat penahanan.
3.      Kewenangan Hakim Pengadilan Tinggi tentang Penahanan
      Setiap hakim Pengadilan Tinggi berwenang memerintahkan penahanan seorang terdakwa guna kepentingan pemeriksaan dalam tingkat banding. Dengan surat perintah penahanan. Hakim Pengadilan Tinggi Berwenang memerintahkan penahanan terdakwa guna pemeriksaan dalam tingkat banding, paling lama 30 hari (Pasal 27 ayat (1)).[13]
      Apabila diperlukan lagi guna kepentingan pemeriksaan tingkat banding yang belum selesai, dapat meminta perpanjangan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, tetapi permintaan dan pemberian perpanjangan hanya paling lama 60 hari (Pasal 27 ayat (2)).[14]
       Dengan demikian, batas waktu penahanan yang dapat dilakukan Hakim Pengadilan Tinggi baik berdasar wewenang yang dapat diperintahkannya sendiri maupun berdasar perpanjangan yang diberikan Ketua Pengadilan Tinggi, tidak lebih dari 30 hari + 60 hari, dengan catatan:[15]
a.         Tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan terdakwa dari penahanan walaupun batas jangka waktu penahanan belum berakhir, jika dianggap penahanan tidak penting lagi untuk keperluan pemeriksaan;
b.        Permintaan perpanjangan bukan dengan sendirinya harus disetujui oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Dia dapat menolak, jika hal itu dianggapnya tidak perlu. Atau pemberian perpanjangan hanya untuk memenuhi kebutuhan nyata, sesuai dengan yang diperlukan pemeriksaan, bisa 10 hari atau 30 hari;
c.         Apabila batas jangka waktu 90 hari telah berakhir, tidak ada jalan lain selain dari mengeluarkan terdakwa dari penahanan “demi hukum” tanpa syarat dan tanpa prosedur (Pasal 27 ayat (4)).
       Sesuai dengan perkembangan dan peralihan tingkat pemeriksaan dari penyidikan ke tingkat penuntutan dan penuntutan ke Pengadilan Negeri, selanjutnya ke tingkat Pengadilan Tinggi banding dan Mahkamah Agung (Kasasi), maka pada saat itu pula telah terjadi peralihan tanggung jawab yuridis atas tahanan.
       Peralihan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi telah diatur secara tegas oleh Pasal 238 ayat (2) KUHAP, yaitu terhitung sejak hari/tanggal diajukan permintaan banding. Tetapi dalam praktik ketentuan tersebut tidak dapat atau sangat sulit untuk dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen.

D.      Definisi Eksekusi dan Wewenang Mengeksekusi Putusan Pidana
1.      Definisi Eksekusi
       Istilah eksekusi berasal dari istilah asing, Belanda: executie, Inggris: execution yang artinya adalah pelaksanaan, hal melaksanakan putusan, atau hal melakukan hukuman (Pasal 270 KUHAP). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, arti kata eksekusi tercantum antara lain, pelaksanaan putusan hakim.
       Arti kata eksekusi tadi memang telah tepat. Karena yang akan dieksekusi adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, artinya tidak ada upaya hukum lagi untuk mengubah putusan tersebut. Suatu hal yang unik adalah penempatan eksekusi itu bukan sebagai kewajiban atau tugas/kewenangan melainkan sebagai hak yang disebut executierecht (hak eksekusi).[16]


2.      Kewenangan Melakukan Eksekusi Putusan Pidana
    Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu Penitera mengirimkkan salinan surat putusan kepada jaksa (Pasal 270 KUHAP). Eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA No. 21 Tahun 1983 Tanggal 8 Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari Panitera kepada jaksa untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan acara singkat paling lama 14 hari.
    Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa atau penuntut umum ini, bukan lagi pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang dalam hal ini jelas KUHAP menyatakan : “jaksa”, berbeda dengan pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain disebut “penuntut umum”. Dengan sendirinya ini berarti Jaksa yang tidak menjadi Penuntut Umum untuk suatu perkara boleh melaksanakan putuan pengadilan.
    Di dalam Pasal 36 ayat 4 UUKK diatur tentang pelaksanaan keputusan hakim yang memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Pertama-tama, Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.
    Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat putusan belum selesai pembuatannya, maka kutipan itu dapat diganti dengan suatu keterangan yang ditandatangani oleh hakim dan panitera dan yang memuat hal-hal yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan tersebut di atas, harus berusaha, supaya putusan Hakim selekas mungkin dijalankan.
E.       Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan
Pada saat dan selama si terpidana menjalankan hukumannya menurut putusan pengadilan yang telah dieksekusi oleh jaksa, masih juga ada aturan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan itu. Aturan detil teknis untuk itu ditentukan dalam KUHAP Pasal 277-283, di antaranya diatur bahwa setiap pengadilan harus memiliki dan menunjuk khusus hakim yang diberikan tugas membantu ketua pengadilan. Tugasnya adalah untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap setiap putusan pengadilan itu yang menjatuhkan hukuman perampasan kemerdekaan seperti pidana kurungan, penjara, pidana bersyarat, dan sebagainya. Dengan tugas itu, dia disebut sebagai hakim pengawas dan pengamat yang ditunjuk bertugas paling lama dua tahun. Tugas pengawasan dan pengamatan itu sudah dimulai sejak jaksa menyampaikan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang dilakukannya. Berita acara itu harus dicatat oleh panitera di dalam register pengawasan dan pengamatan.[17]
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan Lembaga Pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengematan tersebut tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan tersebut berlaku juga bagi terpidana bersyarat (Pasal 280 KUHAP). Atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu (Pasal 282 KUHAP).[18]
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat kepada Ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 283 KUHAP).
KUHAP merumuskan secara eksplisit bahwa pengawasan dan pengamatan oleh hakim itu dimaksudkan agar diperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah benar-benar dilaksanakan (Pasal 280). Hasil yang diperoleh dari pengawasan itu akan menjadi bahan penelitian untuk memperoleh manfaat apakah yang dapat ditemukan dari pemidanaan itu terhadap perilaku si narapidana. Dari hasil penelitian itu, akan dapat pula diketahui bentuk dan cara pembinaan apa yang lebih sesuai dan dapat saling berpengaruh timbal balik terhadap cara hidup si terpidana selama dalam menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Bahkan, bisa jadi hasil penelitian itu pun akan berguna juga sampai dengan setelah si terpidana selesai menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat.
Ketentuan KUHAP tentang pengawasan dan pengamatan di atas itu menunjukkan bahwa hukum acara pidana yang dianut Indonesia kini, tidak lagi bertujuan untuk menghukum sebagai balas dendam atas kejahatan si terpidana. Hukuman sebagai balas dendam atas kejahatan telah ditinggalkan sebagai bagian peradaban hukum masa lalu. Ajaran hukum terkini yang dianut Indonesia adalah bahwa pelaksanaan hukum merupakan satu rehabilitasi dan reintegrasi bagi terpidana agar kembali hidup normal ke dalam peradaban masyarakat umum. Dengan ajaran yang diyakini itu, maka yang dulunya penjara telah diganti nama jadi lembaga pemasyarakatan (LP).
Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sebagai berikut.
1.    Mula-mula jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah ditandatangani olehnya, kepada kepala lembaga pemasyarakatan, terpidana, dan kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP).
2.    Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat, ditutup, dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kera dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 KUHAP).
3.    Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, serta pengaruh timbal balik antara perilaku narapidana dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya, pengawasan dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (Pasal 280 KUHAP).
4.    Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentangn perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
5.    Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP).[19]

F.       Macam-Macam Eksekusi Perkara Pidana
Macam-macam bentuk eksekusi putusan pengadilan adalah sebagai berikut:
a.    Eksekusi pidana denda
Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP). Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung/SEMA No. 2 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983, yang dimaksud dengan perkataan “harus seketika dilunasi” dalam Pasal 273 ayat (1) KUHAP harus diartikan: (a). Apabila terdakwa atau kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat diucapkan; (b). Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan itu oleh jaksa diberitahukan kepada terpidana. Jika terdapat alasan yang kuat, maka jangka waktu pembayaran pidana denda dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Dengan demikian jangka waktu pembayaran pidana denda paling lama dua bulan. Dan apabila setelah dua bulan dendanya belum juga dibayar oleh terpidana, maka eksekusi pidana dendanya diganti dengan pidana kurungan sebagai pengganti denda (Pasal 30 ayat (2) KUHP)[20]
b.    Eksekusi barang rampasan untuk negara
Apabila putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda atau barang rampasan tersebut kepada Kantor Lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga) bulan untuk dilelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (kejaksaan).[21]
c.    Eksekusi biaya perkara
Siapapun yang diputus dijatuhi pidana, dibebani membayar biaya perkara. Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP dan penjelasannya). Dalam hal dijatuhkan adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka biaya perkara dibebankan kepada negara (Pasal 222 KUHAP). Biaya perkara yang dibebankan kepada terpidana disebutkan jumlahnya dalam putusan pengadilan dan pelaksanaan penagihan/pemungutannya dilakukan oleh jaksa. Apabila terpidana tidak mau membayar biaya perkara, jaksa dapat menyita sebagian barang milik terpidana untuk dijual lelang guna melunasi biaya perkaranya. Sedangkan terpidana yang nyata-nyata tidak mampu dan atau tidak diketahui alamatnya, maka Jaksa yang bersangkutan dapat mengajukan usul atau permohonan penghapusannya kepada Jaksa Agung.[22]
d.   Eksekusi pidana bersyarat
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14 a ayat (1) Jo 14 d ayat (1) KUHP), maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh menurut ketentuan undang-undang (Pasal 276 KUHAP). Penulis belum mendapatkan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan, pengawasan dan pengamatan terhadap terpidana yang menjalani pidana bersyarat.[23]
e.    Eksekusi pidana mati
Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak di muka umum (Pasal 271 KUHAP). Sejak tanggal 27 April 1964 sesuai dengan Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Pelaksanaan atau eksekusi pidana mati tidak dapat dilakukan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan Grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No. 22 TH. 2002). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang menjalankan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.



[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, Ghalia,  Jakarta, 2008, hlm. 129.
[2] Ansorie Sabuan, Syarifudin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hlm. 87.
[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Op. cit, hlm. 161.
[4] Diakses dari situs https://www.kbbi.web.id/subjektif, pada tanggal 8 Januari 2018, pada pukul 12.10.
[5] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512b734b0d938/menggugat-subjektivitas-penahanan-broleh--jecky-tengens--sh-, pada tanggal 20 Desember 2017 pukul 13.31 WIB.
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap. Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Op. Cit, hlm. 355.
[7] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Loc. cit, hlm. 369.
[8] . Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Op. cit, hlm. 184.
[9] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Op. Cit, hlm. 234.
[10] Ibid. hlm. 236.
[11] Ibid, hlm. 355.
[12] Ibid, hlm. 239.
[13] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Op. cit, hlm. 185
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana…, Op. Cit, hlm. 215.
[17] Hendrastanto, dkk, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 98.
[18] Ibid. hlm. 99.
[19] Hendrastanto, dkk. Op.Cit. hlm. 100-101.
[20] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 81.
[21] Ibid, hlm. 82.
[22] Ibid, hlm. 83.
[23] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur Simanjuntak, Bandung. 1990. hlm. 115.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meat, Desa Indah di Pinggiran Danau Toba, Tampahan, Balige

Trio Amsisi