SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 2 (BAB I PENDAHULUAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
       Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System, untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum di Negara itu.[1] Sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara, oleh sebab itu setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya, dan politik yang dianut.[2]
       Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan akhirnya lembaga pemasyarakatan.[3]
       Bagi Indonesia, undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) dapat dikatakan merupakan Criminal Justice System Model, yang menjadi dasar hukum utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana secara terpadu. Dalam sistem peradilan pidana semua penegak hukum harus selaras dan sejalan agar upaya penegakan hukum berjalan dengan baik. Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu dengan lainnya saling berkaitan.[4]
       Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan Undang-Undang[5]. Komponen pelaksanaan sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana naupun dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan. Namun demikan, apabila sistem preadilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan, maka unsur di dalamnya juga termasuk pembuat undang-undang.[6]
       Proses persidangan merupakan salah satu tahap terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam KUHAP, berkaitan dengan sistem peradilan pidana, mengatur hubungan Penyidik dan Hakim, yaitu: (a) Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik; (b) Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat ( Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1 ); (c) Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2; (d) Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3); (e) Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa ( Pasal 214 ayat 7 ).
       KUHAP juga mengatur hubungan antara pengadilan dan jaksa di satu pihak dan Lembaga Pemasyarakatan di pihak lain yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.                                                   
Dalam hal terjadi tindak pidana, KUHAP menjamin terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu guna penegakan hukum yang efektif, efisien dan juga adil. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan tersangka, masuk ke dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Penangkapan dan penahanan menurut KUHAP diberikan kewenangan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan undan-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasaan hukum.[7] Penangkapan tiada lain daripada pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan yang harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP.[8]
Tindakan penangkapan dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila seseorang itu berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana.[9] Jika bukti permulaan yang cukup dalam proses penyelidikan telah terpenuhi maka, selanjutanya dilakukan penahahan oleh penyidik.[10] Penahanan sesuai dengan Pasal 1 angka (21) KUHAP yang berbunyi:
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
           
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (21) di atas, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Penahanan dalam rangka untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau pembantu penyidik berwenang melakukan penahanan.[11] Dalam Pasal 25 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari, penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh hari.[12]
Selanjutanya, hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 KUHAP, berwenang mengeluarkaan perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.[13] Dengan demikian jika diperinci lama penahanan seseorang tersangka atau terdwakwa mulai dari penyidikan sampai tingkat kasasi dalam hukum acara pidana Indonesia adalah selama 400 hari.
Dasar penahanan di dalam KUHAP dibagi menjadi dua unsur, yang pertama unsur objektif dan subjektif. Dasar objektif atau yuridis ditentukan dalam Pasal 21 angka (4). Adapun unsur subjekftifnya atau unsur keadaan perlu tidaknya penahanan[14] adalah ditentukan dalam Pasal 21 angka (1), yaitu berupa adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, yaitu: 1) tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; 2) merusak atau menghilangkan barang bukti; 3) dikawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Sedangkan klasifikasi jenis penahanan diatur dalam Pasal 22 angka (1) KUHAP. Menurut ketentuan ini, jenis penahanan dapat berupa:[15]
1.      penahanan rumah tahanan negara (rutan);
2.      penahanan rumah; dan
3.      penahanan kota.
Berkaca pada dasar hukum penahanan seorang tersangka dan jenis penahanan yang ditentukan oleh KUHAP di atas, maka jelaslah bahwa penyidik maupun penuntut umum dan juga hakim pada pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk menahan maupun tidak menahan tersangka Saudara Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kasus tindak pidana penodaan agama.
Dalam proses pemeriksaan di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia (selanjutnya disebut Bareskrim POLRI) pada hari Senin, 7 November 2016, Basuki Tjahaya Purnama tidak dilakukan penangkapan ataupun penahanan, setelah selesai pemeriksaan, Ahok dipersilakan pulang oleh penyidik. Pemeriksaan selanjutnya juga tidak ada surat penahanan yang diterbitkan oleh penyidik Bareskrim POLRI. Hingga pada hari Rabu, 16 November 2016 Bareskrim POLRI secara resmi mengumumkan peningkatan status kasus penodaan agama ke tahap penyidikan, dan saudara Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Namun sampai tahap penyidikan dan penetapan tersangka oleh penyidik Bareskrim POLRI saudara Ahok tetap tidak dilakukan penahanan.
Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan:

“Aturan di kepolisian menyebutkan ada dua faktor yang bisa menyebabkan seseorang tidak ditahan, yaitu unsur objektif dan subjektif. Dari unsur objektivitas, seluruh keterangan ahli yang diperiksa tidak bulat dalam memberikan keterangan kepada kepolisian, di sisi lain, penyidik pun tidak bulat dalam memutuskan kasus Ahok ini. Sedangakan dari unsur subjektivitas, Polri bisa melihat dari tiga faktor. Alasan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan”. Jelas Tito.

Setelah berkas perkara dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) melaui 4 tahap pelimpahan berkas, tersangka saudara Ahok juga belum dilakukan penahanan. Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum mengatakan alasan tidak dilakukan penahanan adalah:
"Karena bahwa penyidik sudah melakukan pencekalan, berlaku sesuai SOP di kita apabila penyidik tak tahan, kita juga tidak," ujar Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum”
Hingga pada tanggal 25 November 2016 Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, berkas kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sudah rampung atau dinyatakan sudah P21, tersangka belum juga ditahan.
Sidang perdana pun dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar pada hari Senin,12 Desember 2016, tapi terdakwa saudara Ahok juga belum ditahan oleh Hakim. Hingga proses persidangan ke 21 yang digelar pada hari selasa, 9 Mei 2017 dengan agenda pembacaan putusan/vonis, terdakwa juga belum ditahan.
Tibalah pembacaan putusan oleh Majelis Hakim, yang diketuai H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. Hakim-hakim anggota, Jupriyadi, S.H., M.Hum., ABD. osyad, S.H, Didik Wuryanto, S.H., M.Hum dan I Wayan Wirjana, S.H., M.H dengan amar putusan berbunyi:

M E N G A D I L I :
-       Menyatakan Terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama;
-       Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun;
-       Memerintahkan agar Terdakwa ditahan;

Dalam amar putusan ketiga, majelis hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan. Namun seketika itu juga terdakwa dan advokat/penasehat hukumnya merespon putusan majelis hakim dengan menyatakan banding, sehingga putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
            Namun tidak beberapa lama berselang setelah selesai pembacaan putusan oleh majelis hakim, JPU langsung melakukan eksekusi putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap dengan menahan Ahok dan membawanya ke rutan Cipinang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah yang berjudul: “EKSEKUSI PUTUSAN YANG BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP MENGENAI PENAHANAN TERDAKWA BASUKI TJAHAYA PURNAMA YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA DITINJAU DARI PASAL 270 DAN PASAL 193 ANGKA (2) KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Analisis Putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR).        

B. Identifikasi Masalah
       Sebuah penulisan lmiah perlu adanya identifikasi masalah agar dapat menginventarisasi masalah-masalah yang ditemukan dalam penelitian yang membuat penelitian menjadi terarah sehingga mengetahui dengan baik sebuah permasalahan yang dibahas dan perlu perhatian khusus, dalam hal ini penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      Alasan untuk melakukan atau tidak melakukan penahanan seorang tersangka atau terdakwa berdasarkan ketentuan KUHAP;
2.      Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding oleh Terdakwa, sesuai dengan Pasal 238 ayat (2) KUHAP.
C. Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat diambil rumusan serta pokok permasalahan dari penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Bolehkah jaksa mengeksekusi putusan pengadilan negeri yang belum berkekuatan hukum tetap?
2.      Apakah putusan batal demi hukum jika tidak memuat amar putusan untuk menahan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan Penelitian
       Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti.[16] Oleh karena itu Penulis ingin memaparkan maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apakah melanggar hukum, jika hakim memerintahkan penahanan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan oleh penyidik dan JPU.
2.      Untuk mengetahui bahwa menurut asas-asas hukum pidana selaku  “ultimum remedium” tidak boleh seorang terdakwa dimasukkan ke dalam penjara sebelum putusan pengadilan itu memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum bahwa putusan yang tidak memuat amar putusan “memerintahkan supaya terdakwa ditahan” tidaklah bertentangan dengan hukum dan KUHAP.  
B. Manfaat Penelitian
       Dalam melaksanakan sebuah penelitian hukum diharapkan memberikan suatu manfaat yang berguna bagi semua pihak. Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian hukum ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis, orang lain, dan juga bagi bidang ilmu hukum yang diteliti. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian hukum ini adalah:
1. Manfaat Teoritis.
a.       Diharapkan penelitian hukum ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya.
b.      Diharapkan penelitian hukum ini dapat memberikan referensi tambahan di bidang hukum acara pidana khususnya mengenai kepastian hukum dan keadilan hukum terhadap terdakwa yang diputus untuk dipidana penjara tetapi putusan itu belum memiliki kekuatan hukum.
c.       Diharapkan hasil penelitian hukum ini dapat dipakai sebagai bahan dasar dan bahan tambahan untuk mengadakan penelitian hukum sejenis untuk tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis.
a.       Hasil penelitian hukum ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang memerlukan pengetahuan hukum tambahan yang terkait konsep-konsep dan teori-teori kepastian hukum dan keadilan hukum yang berhubungan dengan eksekusi putusan pengadilan negeri mengenai penahanan terdakwa dengan permasalahan yang dikaji.
b.      Memperluas dan mengembangkan pola pemikiran dan penalaran hukum sekaligus untuk mengimplementasikan ilmu hukum yang diperoleh penulis selama masa kuliah. Penelitian ini diharapkan juga selain dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum acara pidana, diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan wacana pembahasan dalam sebuah kajian kepada para akademisi, para pengajar hukum, praktisi hukum, serta jaksa penuntut umum, dan terlebih lagi terhadap majelis hakim yang mulia.


E. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam mengaplikasikan pola berpikirnya dalam menyusun secara sistematis teori-teori yang mendukung permasalahan penelitian. Menurut Kerlinger,[17] teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
Kerangka atau landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk dapat mengkaji, menganalisa, dan menemukan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini. Di bawah ini adalah merupakan landasan teori yang dipilih penulis sebagai alat untuk mencari jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.
1.      Teori Pemidanaan
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).[18]
Absolute atau vergeldings theorieen, aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.[19]
Relative atau doel theorieen, dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf).[20]
Sedangkan teori vereningings theorieen (teori gabungan). Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.[21]
Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan kosekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan Retibutive menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujaun yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan, misalnya penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana tersebut oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan sangatlah penting sebagai pedoman dalam memberikan dan menjatuhkan pidana.[22]
2.      Teori Pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,[23] bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharunya menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:[24]
“Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.

sedangkan mengenai masalah pembalasan Prof J. E. Sahetapy dalam bukunya dan juga dalam beberapa pertemuan di media menyatakan:[25]
“Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.”

3.      Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability”[26]. Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi. Menurut Roeslan Saleh[27] pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapt dipidana karena perbuatannya itu.
4.      Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law) dari Hans Kelsen
Tujuan utama dari teori hukum murni adalah membebaskan atau memurnikan ilmu hukum dari anasir-anasir asing yang selama ini secara langsung atau pun tidak langsung terakomodasi di dalam ilmu hukum.[28]
Dengan menempatkan hukum positif sebagai hukum yang bebas dari percampuran dengan hukum yang right (benar) atau hukum yang ideal. Teori hukum murni ingin menyajikan hukum sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya ada, teori hukum murni mencari tahu hukum yang real (nyata) dan mungkin, bukan hukum right (benar”) atau hukum ideal. Dalam hal ini, teori hukum murni merupakan teori hukum radikal yang realistik, yaitu, teori positivisme hukum.[29]
5.      Teori putusan/penjatuhan putusan
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:[30]
1.      Teori Keseimbangan.
Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, seperti: keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2.      Teori Pendekatan Seni dan Intuisi.
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum.
3.      Teori Pendekatan Keilmuan.
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistimatik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitan dengan putusan-putusan terdahulu guna menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4.      Teori Pendekatan Pengalaman.
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantu guna menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya. Pengalaman seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5.      Teori Ratio Decidendi.
Teori ratio decidendi merupakan teori yang didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan.
6.      Teori Kebijaksanaan.
Teori kebijaksanaan menekankan pada rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk serta dibina.
6.      Teori final and binding putusan Mahkamah Konstitusi
Sifat putusan Mahkamah konstitusi yang final dan mengikat berpengaruh sangat luas, berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa (erga omnes).[31] Oleh karena itu setiap putusannya haruslah didasari nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertengger nilai-nilai keadilan.[32] Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang. Putusan erga omnes dapat dianggap memasuki fungsi perundang-undangan (legislative function), Hakim tidak lagi semata-mata menetapkan hukum bagi peristiwa yang akan datang (abstract) dan ini mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk peristiwa yang bersifat abstrak adalah fungsi perundang-undangan bukan fungsi peradilan.[33]
Pada asasnya putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator artinya putusan tersebut mengikat bagi seluruh warga negara, jadi tidak hanya mengikat bagi para pihak yang berperkara saja, namun juga mengikat semua pihak baik warga negara ataupun lembaga-lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya.[34] Oleh karenanya semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi menerapkan hukum yang telah dibatalkan. Dalam hal mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses pemeriksaan dan putusannya pada undang-undang tertentu. Dalam konteks itu, jika undang-undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung berkewajiban untuk memedomaninya.[35]
F. Metode Penelitian
Dalam hal membuat metode penelitian hukum, tidak sama dengan membuat metode penelitian pada ilmu lainnya. Untuk penelitian hukum harus memperlihatkan adanya kontoversi atau permasalahan hukum yang akan diteliti. Calon peneliti harus menemukan kesesuaian jenis atau tipe penelitian hukum yang akan digunakan sehingga ada kesesuaian antara karakteristik hukum yang diteliti dengan jenis penelitan yang akan digunakan.[36]
Menurut Soerjono Soekanto, jenis penelitan hukum dibedakan ke dalam dua bagian besar, yaitu:[37]
1.      Penelitian hukum normatif, yang terdiri atas:
a.       Penelitian terhadap asas-asas hukum
b.      Penelitian terhadap sistematika hukum
c.       Penelitian sejarah hukum
d.      Penelitian perbandingan hukum
2.      Penelitan hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:
a.       Penelitian terhadap identifikasi hukum
b.      Penelitian terhadap efektifitas hukum[38]
Semetara itu Soetandyo Wignjonosoebroto, membagi penelitian hukum menjadi dua macam:[39]
1.      Penelitian hukum doktrinal, yang terdiri dari:
a.    Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
b.    Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif.
c.    Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concrero yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
2.      Penelitian hukum non-doktrinal
Yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Tipologi penelitian yang terakhir ini sering disebut sebagai socio legal research.[40]
Berdasarkan uraian di atas, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode normatif. Metode normatif atau deskriptif analisis digunakan karena merupakan suatu metode yang dilakukan melalui pangkajian dan menganalisis dengan memberikan gambaran umum serta menyeluruh mengenai dampak dari putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memerintahakan JPU untuk menahan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penelitian ini menggunakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai bahan primer dan juga melalui studi kepustakaan (library research) dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang relevan dengan materi yang dibahas. Secara lebih spesifik metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normative-empiris.


G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan konvensi keilmuan dalam ilmu hukum, yaitu menemukan permasalahan, menentukan teori yang digunakan untuk membahas masalah, menentukan metode yang digunakan dalam membahas masalah, kemudian menyajikannya dan menganilis permasalahan untuk menemukan hasil dalam rangka menyusun rekomendasi.
BAB I: merupakan bagian pendahuluan yang memuat gambaran umum yang memberikan informasi secara menyeluruh tentang pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini. Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: adalah tinjauan umum mengenai penahanan tersangka, penetapan hakim, perintah hakim, putusan pengadilan beserta syarat formil suatu putusan dan juga isi putusan menurut KUHAP beserta uraian suatu putusan yang batal demi hukum, dan juga akibat putusan batal demi hukum,  
BAB III: adalah tinjauan umum mengenai, eksekusi putusan, kewenangan JPU menahan tersangka selama proses penyidikan dan penuntutan, dan kewenangan JPU terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan tetap, serta wewenang pengadilan negeri dan wewenang pengadilan tinggi jika terdakwa menyatakan  banding.
BAB IV: berisi uraian mengenai dasar pertimbangan hakim, dasar hukum eksekusi dan dampak hukum putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR terhadap terdakwa, penegakan hukum dan juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
BAB V: adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan yang menyimpulkan bab satu sampai bab empat dan juga memberikan saran mengenai bab satu sampai bab empat.
[1] Marthinus Mambaya, Kesesatan Peradilan; Perspektif Hukum dan Etika dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, hlm. 19.
[2] Eddy O.S Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, 2015. hlm. 1.
[3] Ibid
[4] Ibid. hlm. 2
[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 90.
[6] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2011, hlm. 16.
[7] M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 157.
[8] Ibid
[9] Ibid, hlm. 158.
[10] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 116.
[11] P.A.F Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua,  Sinar Grafika, Jakarrta, 2010, hlm. 118
[12] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 134
[13] Ibid, hlm. 135
[14] Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana, , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 36-37
[15] M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 170.
[16] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 18.
[17] Rakhmat Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Dengan Contoh Analistik Statistik, PT Remaja Rosdikarya, Bandung, 2004, hlm. 6.
[18] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 157.
[19] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 149
[20] Ibid.
[21] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 56.
[22] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002 hlm. 69.
[23] Dalam Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 11.
[24] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 26.
[25] J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 149.
[26] S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV, Alumni Ahaem-Peteheam,Jakarta, 1996, hlm. 245.
[27] Roeslan saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 33.
[28] Hans Kelsen, Introduction to the Problem of Legal Theory, a translation of the Reine Rechslehre of Pure Theory of Law by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, re-printed, Oxford University Press, 2008, hlm. 7-35.
[29] Ibid
[30] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 106.
[31] Fadel, Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia, Universitas Hassanuddin, Makassar, 2012, hlm. 19
[32] Mariyadi Faqih, Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Sekertariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 114.
[33]Machfud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekertariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 132-133.
[34] Safrina Fauziyah R, Pengawasan atas Implementasi Putusan MK Demi Tercapainya Kepastian Hukum di Indonesia, dalam Dri Utari Cristina dan Ismail hasani (ed), Masa depan Mahkamah konstitusi RI: Naskah Konfrensi Mahkamah Konstitusi dan pemajuan Hak Konstitusional Warga, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, 2013, hlm. 430.
[35] Saldi Isra, Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, Makalah disampaikan dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 2014, hlm. 8-9.
[36] Sabian Utsman, Metodologi Penelitian Hukum Progresif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm. 98.
[37] Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 51.
[38] Suratman, Metode Penelitan Hukum, Penerbit Alfabeta, Bandung 2013, hlm. 45.
[39] Soetandyo Wignjosoebroto dalam Sulistyowati dan Sidharta, Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 40-72.
[40] Ibid, hlm. 45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meat, Desa Indah di Pinggiran Danau Toba, Tampahan, Balige

Trio Amsisi