SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 2 (BAB I PENDAHULUAN)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem Peradilan
Pidana (SPP) atau Criminal Justice
System, untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para
ahli dalam Criminal Justice Science
di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum di Negara itu.[1] Sistem
peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum
nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara, oleh sebab itu
setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun
secara garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri yang
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya, dan politik yang
dianut.[2]
Secara sederhana
sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap
orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan akhirnya lembaga pemasyarakatan.[3]
Bagi Indonesia,
undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)
dapat dikatakan merupakan Criminal
Justice System Model, yang menjadi dasar hukum utama dalam penyelenggaraan
peradilan pidana secara terpadu. Dalam sistem peradilan pidana semua penegak
hukum harus selaras dan sejalan agar upaya penegakan hukum berjalan dengan
baik. Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana adalah integrated
criminal justice system yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, antara tugas
penegak hukum yang satu dengan lainnya saling berkaitan.[4]
Sistem peradilan
pidana yang digariskan KUHAP merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang
diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga
penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan Undang-Undang[5].
Komponen pelaksanaan sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam
pengetahuan mengenai kebijakan pidana naupun dalam lingkup praktik penegakan
hukum, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga
pemasyarakatan. Namun demikan, apabila sistem preadilan pidana dilihat sebagai
salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan, maka unsur di
dalamnya juga termasuk pembuat undang-undang.[6]
Proses
persidangan merupakan salah satu tahap terpenting dalam keseluruhan sistem
peradilan pidana. Dalam KUHAP, berkaitan dengan sistem peradilan pidana, mengatur
hubungan Penyidik dan Hakim, yaitu: (a) Ketua Pengadilan Negeri dengan
keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29
atas permintaan penyidik; (b) Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri
menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau
surat izin khusus pemeriksaan surat ( Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1 ); (c)
Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan
penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2; (d)
Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah
disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3); (e) Panitera memberitahukan
kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa ( Pasal 214 ayat 7 ).
KUHAP juga
mengatur hubungan antara pengadilan dan jaksa di satu pihak dan Lembaga
Pemasyarakatan di pihak
lain yang dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 36 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur
tentang Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam hal terjadi tindak pidana, KUHAP menjamin
terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu guna penegakan hukum yang efektif,
efisien dan juga adil. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan
penahanan tersangka, masuk ke dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Penangkapan dan penahanan menurut KUHAP
diberikan kewenangan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas
wewenang yang diberikan undan-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi
kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasaan
hukum.[7]
Penangkapan tiada lain daripada pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka
atau terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan yang harus dilakukan
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP.[8]
Tindakan penangkapan dapat dilaksanakan
oleh penyidik apabila seseorang itu berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga
keras melakukan tindak pidana.[9]
Jika bukti permulaan yang cukup dalam proses penyelidikan telah terpenuhi maka,
selanjutanya dilakukan penahahan oleh penyidik.[10]
Penahanan sesuai dengan Pasal 1 angka (21) KUHAP yang berbunyi:
“Penahanan adalah penempatan tersangka
atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
(21) di atas, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan. Penahanan
dalam rangka untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau pembantu penyidik
berwenang melakukan penahanan.[11] Dalam
Pasal 25 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah
penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari, penahanan dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh hari.[12]
Selanjutanya, hakim pengadilan
negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 KUHAP,
berwenang mengeluarkaan perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.[13] Dengan
demikian jika diperinci lama penahanan seseorang tersangka atau terdwakwa mulai
dari penyidikan sampai tingkat kasasi dalam hukum acara pidana Indonesia adalah
selama 400 hari.
Dasar penahanan di dalam KUHAP
dibagi menjadi dua unsur, yang pertama unsur objektif dan subjektif. Dasar
objektif atau yuridis ditentukan dalam Pasal 21 angka (4). Adapun unsur
subjekftifnya atau unsur keadaan perlu tidaknya penahanan[14] adalah ditentukan
dalam Pasal 21 angka (1), yaitu berupa adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran, yaitu: 1) tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; 2) merusak
atau menghilangkan barang bukti; 3) dikawatirkan akan mengulangi tindak pidana.
Sedangkan klasifikasi jenis penahanan diatur dalam Pasal 22 angka (1) KUHAP.
Menurut ketentuan ini, jenis penahanan dapat berupa:[15]
1.
penahanan
rumah tahanan negara (rutan);
2.
penahanan
rumah; dan
3.
penahanan
kota.
Berkaca pada dasar hukum penahanan
seorang tersangka dan jenis penahanan yang ditentukan oleh KUHAP di atas, maka
jelaslah bahwa penyidik maupun penuntut umum dan juga hakim pada pengadilan negeri
memiliki kewenangan untuk menahan maupun tidak menahan tersangka Saudara Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kasus tindak pidana penodaan agama.
Dalam proses pemeriksaan di Badan
Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Bareskrim POLRI) pada hari Senin, 7 November 2016, Basuki Tjahaya
Purnama tidak dilakukan penangkapan ataupun penahanan, setelah selesai
pemeriksaan, Ahok dipersilakan pulang oleh penyidik. Pemeriksaan selanjutnya
juga tidak ada surat penahanan yang diterbitkan oleh penyidik Bareskrim POLRI.
Hingga pada hari Rabu, 16 November 2016 Bareskrim POLRI secara resmi
mengumumkan peningkatan status kasus penodaan agama ke tahap penyidikan, dan
saudara Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Namun sampai tahap penyidikan dan
penetapan tersangka oleh penyidik Bareskrim POLRI saudara Ahok tetap tidak
dilakukan penahanan.
Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito
Karnavian menjelaskan:
“Aturan di kepolisian menyebutkan ada dua faktor yang
bisa menyebabkan seseorang tidak ditahan, yaitu unsur objektif dan subjektif.
Dari unsur objektivitas, seluruh keterangan ahli yang diperiksa tidak bulat
dalam memberikan keterangan kepada kepolisian, di sisi lain, penyidik pun tidak
bulat dalam memutuskan kasus Ahok ini. Sedangakan dari unsur subjektivitas,
Polri bisa melihat dari tiga faktor. Alasan melarikan diri, menghilangkan
barang bukti, dan mengulangi perbuatan”. Jelas Tito.
Setelah berkas perkara dilimpahkan
ke Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) melaui 4 tahap pelimpahan
berkas, tersangka saudara Ahok juga belum dilakukan penahanan. Kepala Pusat
Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum mengatakan alasan tidak
dilakukan penahanan adalah:
"Karena bahwa penyidik sudah melakukan
pencekalan, berlaku sesuai SOP di kita apabila penyidik tak tahan, kita juga
tidak," ujar Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad
Rum”
Hingga pada tanggal 25 November 2016 Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rachmad
mengatakan, berkas kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur
nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sudah rampung atau dinyatakan sudah P21, tersangka belum juga
ditahan.
Sidang perdana pun dimulai di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang
digelar pada hari Senin,12 Desember 2016,
tapi terdakwa saudara Ahok juga belum ditahan oleh Hakim. Hingga proses persidangan ke 21 yang digelar pada
hari selasa, 9 Mei 2017 dengan agenda pembacaan putusan/vonis, terdakwa juga
belum ditahan.
Tibalah pembacaan putusan oleh
Majelis Hakim, yang diketuai H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. Hakim-hakim
anggota, Jupriyadi, S.H., M.Hum., ABD. osyad, S.H, Didik Wuryanto, S.H., M.Hum
dan I Wayan Wirjana, S.H., M.H dengan amar putusan berbunyi:
M E N G A D I L I :
-
Menyatakan
Terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama;
-
Menjatuhkan
pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua)
Tahun;
-
Memerintahkan
agar Terdakwa ditahan;
Dalam amar putusan ketiga, majelis hakim memerintahkan
agar terdakwa ditahan. Namun seketika itu juga terdakwa dan advokat/penasehat
hukumnya merespon putusan majelis hakim dengan menyatakan banding, sehingga
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut belum memiliki kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde)
Namun
tidak beberapa lama berselang setelah selesai pembacaan putusan oleh majelis
hakim, JPU langsung melakukan eksekusi putusan pengadilan yang belum memiliki
kekuatan hukum tetap dengan menahan Ahok dan membawanya ke rutan Cipinang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah yang berjudul: “EKSEKUSI PUTUSAN YANG
BELUM BERKEKUATAN
HUKUM TETAP MENGENAI PENAHANAN TERDAKWA BASUKI TJAHAYA PURNAMA YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA
DITINJAU DARI PASAL 270 DAN PASAL 193 ANGKA (2) KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Analisis Putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR).
B. Identifikasi
Masalah
Sebuah penulisan lmiah perlu adanya
identifikasi masalah agar dapat menginventarisasi masalah-masalah yang ditemukan dalam penelitian yang
membuat penelitian menjadi terarah sehingga mengetahui
dengan baik sebuah permasalahan yang dibahas dan perlu perhatian khusus, dalam
hal ini penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.
Alasan untuk melakukan
atau tidak melakukan penahanan seorang tersangka atau terdakwa berdasarkan ketentuan KUHAP;
2.
Wewenang untuk menentukan penahanan
beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding oleh
Terdakwa, sesuai dengan Pasal 238 ayat (2) KUHAP.
C. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, dapat diambil rumusan serta pokok
permasalahan dari penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.
Bolehkah jaksa mengeksekusi
putusan pengadilan
negeri yang belum berkekuatan hukum tetap?
2.
Apakah putusan batal
demi hukum jika tidak memuat amar putusan untuk menahan terdakwa yang
sebelumnya tidak ditahan?
D. Tujuan dan
Manfaat Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian
pada hakikatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti.[16] Oleh
karena itu Penulis ingin memaparkan maksud dan tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
apakah melanggar hukum, jika hakim memerintahkan penahanan terdakwa yang
sebelumnya tidak ditahan oleh penyidik dan JPU.
2. Untuk mengetahui
bahwa menurut asas-asas hukum pidana selaku “ultimum
remedium” tidak boleh seorang terdakwa dimasukkan ke dalam penjara sebelum
putusan pengadilan itu memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
3. Untuk mengetahui dasar
hukum bahwa putusan yang tidak memuat amar putusan “memerintahkan supaya
terdakwa ditahan” tidaklah bertentangan dengan hukum dan KUHAP.
B. Manfaat Penelitian
Dalam
melaksanakan sebuah penelitian hukum diharapkan memberikan suatu manfaat yang
berguna bagi semua pihak. Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian hukum ini
dapat bermanfaat, baik bagi penulis, orang lain, dan juga bagi bidang ilmu hukum
yang diteliti. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian hukum ini adalah:
1. Manfaat Teoritis.
a.
Diharapkan penelitian
hukum ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum pidana
pada umumnya dan hukum acara pidana
pada khususnya.
b.
Diharapkan penelitian
hukum ini dapat memberikan referensi tambahan di bidang hukum acara pidana khususnya
mengenai kepastian hukum dan keadilan hukum terhadap terdakwa yang diputus untuk dipidana penjara tetapi
putusan itu belum memiliki kekuatan hukum.
c.
Diharapkan hasil
penelitian hukum ini dapat dipakai sebagai bahan dasar dan bahan tambahan untuk
mengadakan penelitian hukum sejenis untuk tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis.
a.
Hasil penelitian hukum
ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang
memerlukan pengetahuan hukum tambahan yang terkait konsep-konsep dan
teori-teori kepastian hukum dan keadilan hukum yang berhubungan dengan eksekusi putusan pengadilan negeri mengenai penahanan
terdakwa dengan permasalahan yang dikaji.
b.
Memperluas dan
mengembangkan pola pemikiran dan penalaran hukum sekaligus untuk
mengimplementasikan ilmu hukum yang diperoleh penulis selama masa kuliah. Penelitian ini
diharapkan juga selain dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum acara pidana, diharapkan juga
dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan wacana pembahasan dalam
sebuah kajian kepada para akademisi, para pengajar hukum, praktisi hukum, serta jaksa penuntut umum, dan
terlebih lagi terhadap majelis hakim yang mulia.
E. Kerangka
Teori
Kerangka teori adalah kemampuan seorang
peneliti dalam mengaplikasikan pola berpikirnya dalam menyusun secara
sistematis teori-teori yang mendukung permasalahan penelitian. Menurut
Kerlinger,[17] teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan
proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan
menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut.
Kerangka atau landasan teori dalam
penelitian hukum ini sangat dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk dapat
mengkaji, menganalisa, dan menemukan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini.
Di bawah ini adalah merupakan landasan teori yang dipilih penulis sebagai alat
untuk mencari jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.
1. Teori
Pemidanaan
Mengenai
teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar,
yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).[18]
Absolute
atau vergeldings theorieen, aliran
ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu
sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap
sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan
perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si
korban.[19]
Relative
atau doel theorieen, dalam ajaran ini
yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan
tetapi tujuan (doel) dari pidana itu.
Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu,
artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf).[20]
Sedangkan
teori vereningings theorieen (teori gabungan). Teori ini sebagai reaksi dari
teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari
tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah
terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum.[21]
Pandangan
Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan
kosekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh melalui
pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan Retibutive menyatakan
bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujaun yang theological tersebut dilakukan
dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan, misalnya penderitaan pidana
tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak
pidana tersebut oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan sangatlah penting
sebagai pedoman dalam memberikan dan menjatuhkan pidana.[22]
2. Teori
Pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan
karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Bahwa tujuan primer
dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang
sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya
Filosophy of Law,[23] bahwa
pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat.
Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah
melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharunya menerima ganjaran seperti
perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota
masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi
Hamzah mengemukakan sebagai berikut:[24]
“Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan
untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada,
karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan
pidana”.
sedangkan mengenai masalah pembalasan Prof J. E.
Sahetapy dalam bukunya dan juga dalam beberapa pertemuan di media menyatakan:[25]
“Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan
tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan
ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa
bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam.
Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang
kejam memperkosa rasa keadilan.”
3. Teori
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam
bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,”
“criminal reponsibilty,” “criminal liability”[26].
Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya
itu. Pertanggungjawaban pidana adalah
suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi. Menurut Roeslan Saleh[27]
pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif
yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapt
dipidana karena perbuatannya itu.
4. Teori
Hukum Murni (Pure Theory of Law) dari
Hans Kelsen
Tujuan utama dari teori hukum murni
adalah membebaskan atau memurnikan ilmu hukum dari anasir-anasir asing yang
selama ini secara langsung atau pun tidak langsung terakomodasi di dalam ilmu
hukum.[28]
Dengan menempatkan hukum positif
sebagai hukum yang bebas dari percampuran dengan hukum yang right (benar) atau hukum yang ideal.
Teori hukum murni ingin menyajikan hukum sebagaimana adanya, bukan sebagaimana
seharusnya ada, teori hukum murni mencari tahu hukum yang real (nyata) dan mungkin, bukan hukum right (benar”) atau hukum ideal. Dalam hal ini, teori hukum murni
merupakan teori hukum radikal yang realistik, yaitu, teori positivisme hukum.[29]
5. Teori
putusan/penjatuhan putusan
Menurut Mackenzie, ada beberapa
teori dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu
sebagai berikut:[30]
1.
Teori
Keseimbangan.
Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan
perkara, seperti: keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2.
Teori
Pendekatan Seni dan Intuisi.
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau
kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim akan
menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak
pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa
atau penuntut umum.
3.
Teori
Pendekatan Keilmuan.
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa
proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistimatik dan penuh
kehati-hatian, khususnya dalam kaitan dengan putusan-putusan terdahulu guna
menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4.
Teori
Pendekatan Pengalaman.
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantu guna menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya. Pengalaman seorang hakim
dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu
perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5.
Teori
Ratio Decidendi.
Teori ratio decidendi merupakan teori yang didasarkan
pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai
dasar hukum dalam penjatuhan putusan.
6.
Teori
Kebijaksanaan.
Teori kebijaksanaan menekankan pada rasa cinta
terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang harus
ditanam, dipupuk serta dibina.
6. Teori
final and binding putusan Mahkamah
Konstitusi
Sifat putusan Mahkamah konstitusi yang
final dan mengikat berpengaruh sangat luas, berlaku bagi siapa saja, tidak
hanya bagi para pihak yang bersengketa (erga
omnes).[31] Oleh
karena itu setiap putusannya haruslah didasari nilai filosofi dan mempunyai
nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertengger nilai-nilai keadilan.[32]
Menurut Bagir Manan, erga omnes
adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung
persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan
perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi
maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang. Putusan erga omnes dapat dianggap memasuki
fungsi perundang-undangan (legislative
function), Hakim tidak lagi semata-mata menetapkan hukum bagi peristiwa
yang akan datang (abstract) dan ini
mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk peristiwa yang
bersifat abstrak adalah fungsi perundang-undangan bukan fungsi peradilan.[33]
Pada asasnya putusan
Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif
legislator artinya putusan tersebut mengikat bagi seluruh warga negara,
jadi tidak hanya mengikat bagi para pihak yang berperkara saja, namun juga
mengikat semua pihak baik warga negara ataupun lembaga-lembaga negara, termasuk
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya.[34] Oleh karenanya semua organ penegak hukum, terutama
pengadilan terikat untuk tidak lagi menerapkan hukum yang telah dibatalkan.
Dalam hal mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses
pemeriksaan dan putusannya pada undang-undang tertentu. Dalam konteks itu, jika
undang-undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung berkewajiban untuk memedomaninya.[35]
F. Metode
Penelitian
Dalam hal membuat metode penelitian hukum, tidak sama dengan membuat metode
penelitian pada ilmu lainnya. Untuk penelitian hukum harus memperlihatkan adanya
kontoversi atau permasalahan hukum yang akan diteliti. Calon peneliti harus
menemukan kesesuaian jenis atau tipe penelitian hukum yang akan digunakan
sehingga ada kesesuaian antara karakteristik hukum yang diteliti dengan jenis
penelitan yang akan digunakan.[36]
1.
Penelitian hukum
normatif, yang terdiri atas:
a.
Penelitian terhadap
asas-asas hukum
b.
Penelitian terhadap
sistematika hukum
c.
Penelitian sejarah
hukum
d.
Penelitian
perbandingan hukum
2.
Penelitan hukum
sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:
a.
Penelitian terhadap
identifikasi hukum
b.
Penelitian terhadap
efektifitas hukum[38]
1.
Penelitian hukum
doktrinal, yang terdiri dari:
a.
Penelitian yang berupa
usaha inventarisasi hukum positif
b.
Penelitian yang berupa
usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif.
c.
Penelitian yang berupa
usaha penemuan hukum in concrero yang layak diterapkan untuk menyelesaikan
suatu perkara hukum tertentu.
2.
Penelitian hukum
non-doktrinal
Yaitu
penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai
proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
Tipologi penelitian yang terakhir ini sering disebut sebagai socio legal research.[40]
Berdasarkan uraian di atas, penulis
dalam penelitian ini menggunakan metode normatif. Metode normatif atau deskriptif
analisis digunakan karena merupakan suatu metode yang dilakukan melalui
pangkajian dan menganalisis dengan memberikan gambaran umum serta menyeluruh
mengenai dampak dari putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara
yang memerintahakan JPU untuk
menahan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).
Penelitian ini
menggunakan putusan hakim yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap sebagai bahan primer dan juga melalui studi kepustakaan (library
research) dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia
serta yang relevan dengan materi yang dibahas. Secara lebih spesifik metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normative-empiris.
G. Sistematika
Penulisan
Penulisan Skripsi
ini disusun secara sistematis berdasarkan konvensi keilmuan dalam ilmu hukum,
yaitu menemukan permasalahan, menentukan teori yang digunakan untuk membahas
masalah, menentukan metode yang digunakan dalam membahas masalah, kemudian
menyajikannya dan menganilis permasalahan untuk menemukan hasil dalam
rangka menyusun rekomendasi.
BAB I: merupakan bagian pendahuluan yang memuat gambaran umum yang
memberikan informasi secara menyeluruh tentang pokok-pokok bahasan dalam
tulisan ini. Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: adalah tinjauan umum mengenai penahanan
tersangka, penetapan hakim, perintah hakim, putusan pengadilan beserta syarat
formil suatu putusan dan juga isi putusan menurut KUHAP beserta uraian suatu
putusan yang batal demi hukum, dan juga akibat putusan batal demi hukum,
BAB III: adalah tinjauan
umum mengenai, eksekusi putusan, kewenangan JPU menahan tersangka selama proses
penyidikan dan penuntutan, dan kewenangan JPU terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan yang belum memiliki kekuatan tetap, serta wewenang pengadilan negeri
dan wewenang pengadilan tinggi jika terdakwa menyatakan banding.
BAB IV: berisi uraian mengenai dasar
pertimbangan hakim, dasar hukum eksekusi dan dampak
hukum putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN
JKT.UTR terhadap terdakwa, penegakan hukum dan juga kepercayaan masyarakat terhadap
hukum.
BAB V: adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan yang
menyimpulkan bab satu sampai bab empat dan juga memberikan saran mengenai bab
satu sampai bab empat.
[1] Marthinus Mambaya, Kesesatan Peradilan; Perspektif Hukum dan
Etika dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2015, hlm. 19.
[2] Eddy O.S Hiariej, Beberapa
Catatan RUU KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Yogyakarta, 2015. hlm. 1.
[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 90.
[6] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2011, hlm. 16.
[10] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana
(Penyelidikan & Penyidikan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hlm. 116.
[11] P.A.F Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarrta, 2010, hlm. 118
[14] Mohammad Taufik Makarao,
dan Suhasril, Hukum Acara Pidana, ,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 36-37
[17] Rakhmat Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi:
Dilengkapi Dengan Contoh Analistik
Statistik, PT Remaja Rosdikarya, Bandung, 2004, hlm. 6.
[19] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 149
[25] J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana
Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 149.
[26] S.R Sianturi, Asas-asas Hukum
Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV, Alumni Ahaem-Peteheam,Jakarta,
1996, hlm. 245.
[27] Roeslan saleh, Pikiran-Pikiran
Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 33.
[28] Hans Kelsen, Introduction to the
Problem of Legal Theory, a translation of the Reine Rechslehre of Pure
Theory of Law by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, re-printed,
Oxford University Press, 2008, hlm. 7-35.
[30] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh
Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.
106.
[31] Fadel, Tinjauan Yuridis Prinsip
Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan
Substantif di Indonesia, Universitas Hassanuddin, Makassar, 2012, hlm. 19
[32] Mariyadi Faqih, Nilai-Nilai
Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Sekertariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 114.
[33]Machfud Aziz, Pengujian Peraturan
Perundang-undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekertariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 132-133.
[34] Safrina Fauziyah R, Pengawasan
atas Implementasi Putusan MK Demi Tercapainya Kepastian Hukum di Indonesia,
dalam Dri Utari Cristina dan Ismail hasani (ed), Masa depan Mahkamah konstitusi RI: Naskah Konfrensi Mahkamah Konstitusi
dan pemajuan Hak Konstitusional Warga, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta,
2013, hlm. 430.
[35] Saldi Isra, Titik Singgung
Wewenang Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, Makalah disampaikan dalam
Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan
Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 2014, hlm. 8-9.
[36] Sabian Utsman, Metodologi Penelitian Hukum Progresif,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm. 98.
[39] Soetandyo Wignjosoebroto dalam Sulistyowati dan Sidharta, Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai
Penelitian Ilmiah, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm.
40-72.
Komentar
Posting Komentar