JURNAL TENTANG EKSEKUSI PENAHANAN AHOK
EKSEKUSI PUTUSAN YANG BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP MENGENAI PENAHANAN TERDAKWA BASUKI TJAHAYA PURNAMA YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA DITINJAU DARI PASAL 270 DAN PASAL 193 ANGKA (2) KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(Analisis Putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR)
Jeff Rekando Marupa Lubis
Email: jeffrekando@gmail.com
ABSTRACT
EXECUTION OF VERDICT WHICH HAS NOT ACQUIRED PERMANENT LEGAL FORCE ABOUT DETENTION OF THE ACCUSED BASUKI TJAHAYA PURNAMA CONDUCTED BY THE PROSECUTORS REVIEWED FROM ARTICLE 270 AND ARTICLE 193 NUMBERS (2) CRIMINAL LAW PROCEDURE (Analysis of Verdict Number 1537 / Pid.B / 2016 / PN JKT.UTR ). During the investigation process at the Criminal Investigation Unit of the Indonesian National Police Headquarters on Monday, November 7, 2016, the suspect Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) was not arrested or detained, after the examination, Ahok was discharged by the investigator. After the court file was handed over to the Public Prosecutor through 4 (four) stages of file deletion, the suspect of Ahok's brother has not been arrested. The head of the General Information Center (Kapuspenkum) of the AGO Muhammad Rum said the reason for the detention was not "because the investigator has been banned, it applies to our SOP if the investigator cannot bear it, neither do we," said Head of Public Information Center (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum "Even so in the trial stage, the judges did not issue an order of detention, but after the decision of the judges ordered that the defendant be held, against the verdict, the defendant at that time declared the appeal so that the verdict had no permanent law, but the prosecutor still executed the decision by holding the defendant. Can the Prosecutor execute the decision of the district court that has not yet a permanent legal force? Is the decision null and void if it does not contain the verdict to hold the defendant who was not previously detained?. More specifically the method used in this research is the method of legal research normativ e-empirical. The execution of the decision (execution) shall be conducted if the decision has been in permanent legal force (inkracht van gewidsje), if a decision is still made by appeal and cassation, then the judgment cannot be executed by law. The detention of defendant Basuki Tjahaya Purnama conducted by the Prosecutor on the basis of the execution of North Jakarta District Court decision which has not yet had the force of law is still contradictory to the KUHAP and does not reflect justice and legal certainty, the judges in considering a decision must adhere to the prevailing laws and regulations in order to avoid disparity of judgment between one court and another. The panel of judges must submit to and obey the KUHAP and also against the decision of the Constitutional Court because the decision is final and binding.
Keywords: Execution, Verdict, Incracht, Detention, Ahok
ABSTRAK
EKSEKUSI PUTUSAN YANG BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP MENGENAI PENAHANAN TERDAKWA BASUKI TJAHAYA PURNAMA YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA DITINJAU DARI PASAL 270 DAN PASAL 193 ANGKA (2) KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Analisis Putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR)
Dalam proses pemeriksaan di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia, pada hari Senin, 7 November 2016, Tersangka Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tidak dilakukan penangkapan ataupun penahanan, setelah selesai pemeriksaan, Ahok dipersilakan pulang oleh penyidik. Setelah berkas perkara dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum melalui 4 (empat) tahap pelimpahan berkas, tersangka saudara Ahok juga belum dilakukan penahanan. Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum mengatakan alasan tidak dilakukan penahanan adalah “karena bahwa penyidik sudah melakukan pencekalan, berlaku sesuai SOP di kita apabila penyidik tak tahan, kita juga tidak," ujar Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum”. Begitu juga dalam tahap persidangan, majelis hakim tidak mengeluarkan perintah penahanan, mamun setelah pembacaan putusan majelis hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan, terhadap putusan itu, terdakwa pada saat itu juga menyatakan banding sehingga putusan itu belum berkekuatn hukum tetap. Akan tetapi jaksa tetap mengeksekusi putusan tersebut dengan menahan terdakwa. Bolehkah Jaksa mengeksekusi putusan pengadilan negeri yang belum berkekuatan hukum tetap? Apakah putusan batal demi hukum jika tidak memuat amar putusan untuk menahan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan?. Secara lebih spesifik metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normative-empiris. Pelaksanaan putusan (eksekusi) dilakukan apabila putusan itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewidsje), apabila terhadap suatu putusan masih dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi, maka secara hukum putusan itu belum dapat dieksekusi. Penahanan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama yang dilakukan oleh Jaksa atas dasar eksekusi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang belum memiliki kekuatan hukum tetap bertentangan dengan KUHAP dan tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, majelis hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi disparitas putusan antara pengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya. Majelis hakim harus tunduk dan patuh terhadap KUHAP dan juga terhadap putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan itu bersifat terakhir dan mengikat (final dan binding).
Kata kunci: Eksekusi, Putusan, Inkracht, Penahanan, Ahok
1. PENDAHULUAN
Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System, untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum di Negara itu. Sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara, oleh sebab itu setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya, dan politik yang dianut.
Bagi Indonesia, undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) dapat dikatakan merupakan Criminal Justice System Model, yang menjadi dasar hukum utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana secara terpadu. Dalam sistem peradilan pidana semua penegak hukum harus selaras dan sejalan agar upaya penegakan hukum berjalan dengan baik. Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu dengan lainnya saling berkaitan.
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan Undang-Undang. Komponen pelaksanaan sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana naupun dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan. Namun demikan, apabila sistem preadilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan, maka unsur di dalamnya juga termasuk pembuat undang-undang.
Dalam hal terjadi tindak pidana, KUHAP menjamin terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu guna penegakan hukum yang efektif, efisien dan juga adil. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan tersangka, masuk ke dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Penangkapan dan penahanan menurut KUHAP diberikan kewenangan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan undan-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasaan hukum. Penangkapan tiada lain daripada pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan yang harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP.
Tindakan penangkapan dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila seseorang itu berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana. Jika bukti permulaan yang cukup dalam proses penyelidikan telah terpenuhi maka, selanjutanya dilakukan penahahan oleh penyidik. Penahanan sesuai dengan Pasal 1 angka (21) KUHAP yang berbunyi:
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (21) di atas, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Penahanan dalam rangka untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau pembantu penyidik berwenang melakukan penahanan. Dalam Pasal 25 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari, penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh hari.
Selanjutanya, hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 KUHAP, berwenang mengeluarkaan perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. Dengan demikian jika diperinci lama penahanan seseorang tersangka atau terdwakwa mulai dari penyidikan sampai tingkat kasasi dalam hukum acara pidana Indonesia adalah selama 400 hari.
Dasar penahanan di dalam KUHAP dibagi menjadi dua unsur, yang pertama unsur objektif dan subjektif. Dasar objektif atau yuridis ditentukan dalam Pasal 21 angka (4). Adapun unsur subjekftifnya atau unsur keadaan perlu tidaknya penahanan adalah ditentukan dalam Pasal 21 angka (1), yaitu berupa adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, yaitu: 1) tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; 2) merusak atau menghilangkan barang bukti; 3) dikawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Sedangkan klasifikasi jenis penahanan diatur dalam Pasal 22 angka (1) KUHAP. Menurut ketentuan ini, jenis penahanan dapat berupa:
1. penahanan rumah tahanan negara (rutan);
2. penahanan rumah; dan
3. penahanan kota.
Berkaca pada dasar hukum penahanan seorang tersangka dan jenis penahanan yang ditentukan oleh KUHAP di atas, maka jelaslah bahwa penyidik maupun penuntut umum dan juga hakim pada pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk menahan maupun tidak menahan tersangka Saudara Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kasus tindak pidana penodaan agama.
Dalam proses pemeriksaan di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia (selanjutnya disebut Bareskrim POLRI) pada hari Senin, 7 November 2016, Basuki Tjahaya Purnama tidak dilakukan penangkapan ataupun penahanan, setelah selesai pemeriksaan, Ahok dipersilakan pulang oleh penyidik. Pemeriksaan selanjutnya juga tidak ada surat penahanan yang diterbitkan oleh penyidik Bareskrim POLRI. Hingga pada hari Rabu, 16 November 2016 Bareskrim POLRI secara resmi mengumumkan peningkatan status kasus penodaan agama ke tahap penyidikan, dan saudara Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Namun sampai tahap penyidikan dan penetapan tersangka oleh penyidik Bareskrim POLRI saudara Ahok tetap tidak dilakukan penahanan.
Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan:
“Aturan di kepolisian menyebutkan ada dua faktor yang bisa menyebabkan seseorang tidak ditahan, yaitu unsur objektif dan subjektif. Dari unsur objektivitas, seluruh keterangan ahli yang diperiksa tidak bulat dalam memberikan keterangan kepada kepolisian, di sisi lain, penyidik pun tidak bulat dalam memutuskan kasus Ahok ini. Sedangakan dari unsur subjektivitas, Polri bisa melihat dari tiga faktor. Alasan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan”. Jelas Tito.
Setelah berkas perkara dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) melaui 4 tahap pelimpahan berkas, tersangka saudara Ahok juga belum dilakukan penahanan. Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum mengatakan alasan tidak dilakukan penahanan adalah:
"Karena bahwa penyidik sudah melakukan pencekalan, berlaku sesuai SOP di kita apabila penyidik tak tahan, kita juga tidak," ujar Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Muhammad Rum”
Hingga pada tanggal 25 November 2016 Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, berkas kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sudah rampung atau dinyatakan sudah P21, tersangka belum juga ditahan.
Sidang perdana pun dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar pada hari Senin,12 Desember 2016, tapi terdakwa saudara Ahok juga belum ditahan oleh Hakim. Hingga proses persidangan ke 21 yang digelar pada hari selasa, 9 Mei 2017 dengan agenda pembacaan putusan/vonis, terdakwa juga belum ditahan.
Tibalah pembacaan putusan oleh Majelis Hakim, yang diketuai H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. Hakim-hakim anggota, Jupriyadi, S.H., M.Hum., ABD. osyad, S.H, Didik Wuryanto, S.H., M.Hum dan I Wayan Wirjana, S.H., M.H dengan amar putusan berbunyi:
M E N G A D I L I :
- Menyatakan Terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun;
- Memerintahkan agar Terdakwa ditahan;
Dalam amar putusan ketiga, majelis hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan. Namun seketika itu juga terdakwa dan advokat/penasehat hukumnya merespon putusan majelis hakim dengan menyatakan banding, sehingga putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
Namun tidak beberapa lama berselang setelah selesai pembacaan putusan oleh majelis hakim, JPU langsung melakukan eksekusi putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap dengan menahan Ahok dan membawanya ke rutan Cipinang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah yang berjudul: “EKSEKUSI PUTUSAN YANG BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP MENGENAI PENAHANAN TERDAKWA BASUKI TJAHAYA PURNAMA YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA DITINJAU DARI PASAL 270 DAN PASAL 193 ANGKA (2) KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Analisis Putusan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR).
2. METODE PENELITIAN
Dalam hal membuat metode penelitian hukum, tidak sama dengan membuat metode penelitian pada ilmu lainnya. Untuk penelitian hukum harus memperlihatkan adanya kontoversi atau permasalahan hukum yang akan diteliti. Calon peneliti harus menemukan kesesuaian jenis atau tipe penelitian hukum yang akan digunakan sehingga ada kesesuaian antara karakteristik hukum yang diteliti dengan jenis penelitan yang akan digunakan.
Menurut Soerjono Soekanto, jenis penelitan hukum dibedakan ke dalam dua bagian besar, yaitu:
1. Penelitian hukum normatif, yang terdiri atas:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum
c. Penelitian sejarah hukum
d. Penelitian perbandingan hukum
2. Penelitan hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:
a. Penelitian terhadap identifikasi hukum
b. Penelitian terhadap efektifitas hukum
Semetara itu Soetandyo Wignjonosoebroto, membagi penelitian hukum menjadi dua macam:
1. Penelitian hukum doktrinal, yang terdiri dari:
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concrero yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
2. Penelitian hukum non-doktrinal
Yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Tipologi penelitian yang terakhir ini sering disebut sebagai socio legal research.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode normatif. Metode normatif atau deskriptif analisis digunakan karena merupakan suatu metode yang dilakukan melalui pangkajian dan menganalisis dengan memberikan gambaran umum serta menyeluruh mengenai dampak dari putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memerintahakan JPU untuk menahan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penelitian ini menggunakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai bahan primer dan juga melalui studi kepustakaan (library research) dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang relevan dengan materi yang dibahas. Secara lebih spesifik metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normative-empiris.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi
Kasus posisi yang terdapat dalam surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum di dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah sebagai berikut:
Pada hari Selasa tanggal 27 September 2016 sekira pukul 08.30 WIB terdakwa selaku Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibu kota) Jakarta mengadakan kunjungan kerja di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dalam rangka panen ikan kerapu, dengan didampingi antara lain oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Bupati Kepulauan Seribu, Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta, Asisten Ekonomi dan dihadiri oleh para nelayan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat setempat.
Pada saat terdakwa mengadakan kunjungan kerja tersebut terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta yang pemilihannya akan dilaksanakan pada bulan Februari 2017.
Bahwa meskipun pada kunjungan kerja tersebut tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, akan tetapi oleh karena terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51 yang antara lain mengatakan sebagai berikut: “... ini pemilihan kan dimajuin jadi kalo saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017 jadi kalo program ini kita jalankan dengan baik pun bapak ibu masih sempet panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran ah..nanti kalau ga kepilih, pasti Ahok programnya bubar, engga........saya sampai Oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat Al-Maidah 51, macem – macem itu itu hak bapak ibu yah jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa kepilih nih karena saya takut masuk neraka karna dibodohin gitu ya enga papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu program ini jalan saja, jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo terima ga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ga enak nanti mati pelan-pelan loh kena stroke.”
B. Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan kasus posisi sebagaimana telah diuraikan di atas, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif sebagai berikut:
1. Dakwaan Kesatu (Unsur Pasal 156a KUHP)
Perbuatan terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Bunyi Pasal 156a selengkapnya berbunyi:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”
1) Unsur Barang Siapa
Yang dimaksud barangsiapa, diartikan sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana. Dalam KUHP hanya dikenal subjek hukum berupa orang atau manusia, tidak dikenal subjek hukum berupa badan hukum. Subjek hukum dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Setiap perbuatannya dan terhadapnya telah didakwa melakukan tindak pidana yang dalam perkara ini adalah sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah seorang laki-laki yang bernama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang identitasnya telah dicantumkan baik dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan ini, serta identitas tersebut telah dibenarkan dalam persidangan oleh terdakwa sehingga tidaklah keliru mengenai subjek hukum (Error in persona)
2) Unsur Dengan Sengaja
H. B. Vos menyatakan yang pada intinya bahwa dalam KUHP kita, kesengajaan tidak didefinisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam kitab undang-undang. Definisi kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak (wilstheorie) dan teori pengetahuan (voorstellingtheorie).
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte), sedangakan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen).
Dalam unsur dengan sengaja tersebut di atas, Penuntut Umum beranggapan bahwa Terdakwa telah dengan sengaja mengucakapkan kalimat yang bertendesi melakukan penodaan terhadap agama, terlihat jelas dalam dakwaan Penuntut Umum yang berbunyi:
“…akan tetapi oleh karena terdakwa telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur maka ketika terdakwa memberikan sambutan dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda pemilihan Gubernur DKI dengan mengaitkan surat Al-Maidah ayat 51”
3) Unsur di Muka Umum Mengeluarkan Perasaan atau Melakukan Perbuatan yang Pada Pokoknya Bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Terhadap Suatu Agama yang Dianut di Indonesia
Penulis tidak menemukan buku atau referensi lain yang berkaitan dengan penjelasan mengenai unsur tersebut di atas, begitu juga dengan KUHP dan Memori van Toelichting juga tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan penodaan agama.
Penulis hanya menemukan referensi dari pendapat ahli yang dikutip oleh media-media. Mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji seperti yang dikutip oleh Hukumonline pernah menjelaskan:
“Pasal 156a KUHP ini baru bisa efektif setelah ada pembahasan di forum Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (“Bakor Pakem”). Forum ini terdiri dari Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN) serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat.”
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan:
"Cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif, zakelijkee dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindarl adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini".
Menurut R. Soesilo, sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul “Kitab Undang Undang Hukum Pidana; Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” mengatakan:
“Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 1 di atas, ia diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputasan Meneri Agam, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran keperayaan, ia oleh Presidan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
Artinya di sini pelaku perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh Pasal 156a KUHP harus terlebih dahulu diberikan teguran atau peringatan oleh Menteri atau Jaksa Agung atau Presiden, untuk segera menghentikan perbuatan itu. Jika setelah diperingati dan pelaku tindak pidana menghentikan perbuatannya maka ia tidak akan dituntuk secara pidana, namun jika ternyata pelaku tidak mengindahkan peringatan tersebut, maka ia baru dituntut secara pidana.
Tidak adanya kejelasan dan maksud yang pasti dan tidak ada tolok ukur yang jelas dan baku tentang apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama, sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif berpikirnya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut.
Unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP tersebut tidak memiliki kepastian hukum dalam hal siapakah yang memiliki kompetensi dan/atau kewenangan dan bagaimana cara menilai tentang ajaran, perasaan, atau perbuatan seseorang/kelompok orang/organisasi sesat atau menyimpang atau dianggap melecehkan suatu agama. Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau perasaan atau perbuatannya bermaksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, semuanya hanya berserah kepada penilaian hakim semata.
2. Dakwaan Kedua (Dakwaan Alternatif dan Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP)
a. Dakwaan Alternatif
Terhadap tindak pidana yang disangkakan kepada Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif digunakan apabila penuntut umum merasa ragu mengenai peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut, atau jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana, apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan.
Lebih lanjut Van Bemmelen, menyatakan bahwa dalam hal dakwaan alternatif yang sesungguhnya maka masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu dakwaan pertama.
Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternatif, pada dasarnya bertitik tolak dari pemikiran atau perkiraan:
a. Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggung jawaban hukum pidana.
b. Memberikan pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat
Ciri dari dakwaan alternatif adalah dalam penulisannya menggunakan kata ‘atau’. Dakwaan alternatif ini dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak/ciri yang sama atau hampir sama. Misalnya, pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati, dan sebagainya.
b. Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP
Sedangkan mengenai Pasal dalam dakwaan kedua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) adalah Pasal 156 KUHP. Adapun unsur utama yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP adalah, Di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Menurut R. Soesilo, pasal ini disebut dengan delik-delik penyebar kebencian “haartzaai-artikelen” yang maksudnya untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk jangan sampai kena rupa-rupa hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dsb. Di depan umum atau di surat kabar.
Berbeda dengan Pasal 156a, Pasal 156 hanya didakwakan apabila perbuatan pidana yang dimaksud dilakukan terhadap suatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Golongan penduduk Indonesia yang dimaksud yaitu, golongan orang Eropa, Tionghoa, Indonesia (berdasar kebangsaan), orang Kristen, Islam, Budha, (berdasar agama), orang Jawa, Minangkabau, Dayak, Bali, Madura, (berdasar sukt bangsa) dan sebagainya.
C. Tuntutan Penuntut Umum Perkara Pidana Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr
Penuntut umum menuntut Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) bukan dengan menggunakan Pasal 156a KUHP yang merupakan dakwaan primer, melainkan menuntut menggunakan dakwaan subsidair atau dakwaan kedua. Adapun ringkasan Tuntutan Pidana Penuntut Umum berbunyi:
“Dengan telah terpenuhinya semua unsur-unsur sebagaimana uraian di atas, maka dapat disimpulkan perbuatan Ir Basuki Tjahaha Purnama alias Ahok telah terbukti dengan sah dan meyakinkan, serta setelah memenuhi rumusan-rumusan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 156 KUHP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penuntut umum dalam perkara ini, menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan:
1. Menyatakan, terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif kedua.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Basuki Tjahaja Purnama Ahok dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
3. Menyatakan, (A). Barang bukti nomor satu sampai dengan 11 dan nomor 13, tetap terlampir dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam berkas perkara. (B). Barang bukti nomor 12 dan nomor 14 dikembalikan kepada penasihat hukum terdakwa.
4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000 (sepuluhribu rupiah)”
Jaksa penuntut umum beranggapan, setelah mendengar keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa maupun seluruh proses pembuktian di persidangan, terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang tercantum di Pasal 156 KUHP. Walupun pada akhirnya majelis hakim tidak sepakat dengan pendapat penuntut umum tersebut.
1. Tuntutan Pidana Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP
Tuntutan pidana yang terdapat di Pasal 156a berbeda dengan Pasal 156. Dalam Pasal 156a hukuman pidananya adalah paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan dalam Pasal 156 paling lama 4 (empat) tahun.
Penuntut umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah terbukti melalui keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat, petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan benda-benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut requisitoir penuntut umum tersebut, diuraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam undang-undang. Jadi, hanya berdasarkan kebiasaan misalnya terdakwa tidak mempersulit pemeriksaan, sopan, mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu pula keadaan belum cukup umur dipandang sebagai hal yang meringankan terdakwa. Hal-hal tersebut tidak boleh dicampur adukan dengan hal-hal yang memberatkan pidana seperti residivis, gabungan delik, dilakukan dengan berencana. Hal ini dilakukan karena untuk mempermudah hakim dalam membuat keputusan.
2. Ultra Petita
Dalam petitum poin yang kedua, Penuntut Umum menuntut Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun, namun majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan tersebut, majelis hakim memvonis terdakwa dengan pidana penjara 2 (dua) tahun tanpa hukuman masa percobaan. Artinya vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim melebihi dari tuntuan Penuntut Umum atau yang sering disebut dengan Ultra Petita.
Ultra Petita atau Ultra Petitum Partium adalah frasa yang berasal dari HIR yang mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Awalnya Ultra Petita hanya ditemukan di perkara perdata, namun belakangan ini Penulis telah menemukan banyak putusan pidana yang melebihi tuntutan penuntut umum dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, HIR dengan jelas melarang majelis hakim untuk mengabulkan gugatan yang melebihi petitum yang dimintakan. Dalam hukum perdata menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law. Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenangnya atau ultra vires. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan dan keadilan. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Pasal 24 ayat (1) menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan. Dengan demikian, hakim memiliki kemandirian dan kebebasan dalam menjatuhkan putusan yang sedang ditanganinya.
Namun demikian dalam praktik peradilan, putusan ultra petita dianggap sebagai suatu hal yang kontroversial, karena sering menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar/ahli hukum.
Dalam penjatuhan putusan, kebebasan hakim dibatasi oleh surat dakwaan dari penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP mengenai musyawarah hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat dakwaan. Hakim yang menjauhkan putusan di luar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu saja bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP Dalam yurisprudensi juga dianut paham putusan pengadilan harus merujuk pada surat dakwaan. Misalnya putusan MA No. 68 K/Kr/1973 dan No. 47 K/Kr/1956, dua putusan yang lahir sebelum era KUHAP.
Dalam aturan KUHAP Pasal 182 ayat (4), bahwa musyawarah hakim harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Dalam perkara pidana, peneliti Mahkamah Agung, di bawah koordinasi Sudharmawatiningsih, melakukan penelitian. Hasil penelitian itu sudah dibukukan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung. Hasil penelitian itu adalah menemukan secara normatif, tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya.
Putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa pidana penjara, bisa pula berupa denda, uang pengganti, bahkan pidana pengganti. Sekalipun hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu, putusan itu tak melanggar KUHAP. Yang terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang dan memvonis diluar dari ancaman pidana yang ditetapkan oleh KUHP atau undang-undang.
D. Analisis Penulis Tentang Pertimbangan Majelis Hakim dan Eksekusi Putusan Oleh Jaksa Perkara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama.
1. Pertimbangan Majelis Hakim tentang Penahanan
Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa harus ditahan sesuai dengan amar putusan poin yang ketiga yang menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa ditahan” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan ini terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan, dan terhadap penahanan terdakwa, dipertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) a KUHAP yang menyebutkan: ”Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu” dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau pun mengulangi tindak pidana lagi.”
Dari pertimbangan hakim tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan adanya alasan untuk dilakukan penahanan karena selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa tidak dilakukan penahanan, sehingga majelis hakim menggunakan Pasal 193 ayat (2).
Kejanggalan dalam pertimbangan hakim tersebut adalah karena di dalam Pasal 193 ayat (2) ada unsur “apabila dipenuhi Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu” sedangkan di Pasal 21 ayat (1) alasan penahanan disebutkan secara jelas yaitu:
1. hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri;
2. merusak atau menghilangkan barang bukti;
3. dan atau mengulangi tindak pidana.
a. Unsur 1. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri
Dalam hal ini terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dikhawatirkan oleh Majelis Hakim akan melarikan diri, padahal selama penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, baik pihak Penyidik maupun JPU sama-sama mengatakan bahwa Terdakwa dipastikan tidak akan melarikan diri karena terdakwa merupakan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang masih aktif.
Selain alasan tersebut di atas, penulis beranggapan Terdakwa tidak mungkin melarikan diri, karena Terdakwa merupakan seorang pejabat publik yaitu Gubernur aktif DKI Jakarta yang notabene sangat disukai warga Jakarta, di samping itu terdakwa sangat terkenal bahkan ketenarannya sampai ke dunia internasional sehingga apabila Terdakwa melarikan diri maka semua orang di belahan dunia akan mengenali Terdakwa sehingga jikapun melarikan diri, maka akan mudah untuk mencarinya dan menangkapnya.
b. Unsur 2. Merusak atau menghilangkan barang bukti
Tujuan penahanan menurut Yahya Harahap adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan juga untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Melihat dari hal tersebut, maka Terdakwa tidak perlu lagi ditahan karena penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan sudah selesai, bahkan putusan telah diucapkan sehingga penahanan sudah tidak relevan dan sudah tidak diperlukan lagi.
Lagi pula barang bukti maupun alat-alat bukti yang disampaikan oleh JPU ke hadapan sidang pengadilan sudah disita, disimpan dan sudah berada pada penguasaan dan pengawasan JPU, sehingga tidak mungkin lagi jika Terdakwa bisa menghilangkan barang bukti seperti yang dikhawatirkan oleh majelis hakim.
c. Unsur 3. Mengulangi Tindak Pidana.
Selain kontroversi yang muncul mengenai tindak pidana yang dilakukan Terdakwa apakah benar-benar memenuhi unsur penodaan agama seperti yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, banyak ahli, dosen dan bahkan penyidik Bareskrim Polri tidak bulat mengatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh JPU sehingga jika dikhawatirkan akan melakukan atau mengulangi tindak pidana lagi, itu serpertinya kemungkinannya itu kecil, hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi. Jadi menurut hemat penulis alasan ini sangat tidak masuk akal, karena selain itu juga Terdakwa dalam berbagai kesempatan sudah pernah mengucapkan permintaan maaf karena perkatannya membuat gaduh dan menyakiti hati banyak orang.
Sedangkan di ayat (2) menyebutkan penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim. Yang artinya jika dalam penyidikan kasus ini, para penyidik dari Bareskrim Polri tidak melakukan penahanan terhadap tersangka karena menurut mereka alasan penahanan seperti yang dicantumkan Pasal 21 ayat (2) tidak terpenuhi. Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus agar terdakwa ditahan adalah keliru, karena penahanan pada prinsipnya bertentangan dengan asas-asas yang diakui secara universal seperti Hak Asasi Manusia khususnya hak kebebasan seseorang, oleh karena itu penahanan dilakukan jika perlu sekali.
Pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa yang dituangkan dalam pertimbangan yang ke 82 dan 83 yang terdapat pada halaman 615 yang menyebutkan:
“Menimbang bahwa Pasal 21 ayat (4) a KUHAP menyebutkan, penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;”
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengadilan, terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 a huruf a KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun”
Kedua pertimbangan hukum di atas menurut hemat penulis saling kontradiksi atau bertentangan satu sama lain, dalam pertimbangan yang pertama, majelis hakim menekankan pada tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih sesuai yang tercantum di Pasal 21 ayat (4), sehingga perlu untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa. Namun di dalam pertimbangan yang kedua, majelis hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama sehingga menghukum Terdakwa dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara.
Seharusnya jika mengacu pada pertimbangan hukum yang pertama dan Pasal 21 ayat (4), maka seharusnya Terdakwa dihukum dengan 5 (lima) tahun penjara, karena di Pasal itu mengharuskan pidana yang diancam 5 (lima) tahun penjaralah yang dilakukan penahanan sehingga syarat objektifnya terpenuhi. Lagi pula pertimbangan hakim tersebut tidak relevan lagi digunakan setelah proses pembuktian di pengadilan selesai, karena itu adalah ranah Penyidik dalam tahap penyidikan maupun Penuntut Umum dalam tahap penuntutan dalam menentukan apakah unsur pada Pasal 165 huruf (a) dimana acaman hukumannya maksimal 5 (lima) tahun bersesuaian dengan unsur di dalam Pasal 21 ayat (4) sehingga diperlukan penahanan atau tidak.
Pasal 21 ayat (4) juga mengisyaratkan bahwa hukuman pidana adalah 5 (lima) tahun, sedangakan ancaman pidana yang terdapat di dalam pasal 156a KUHP adalah selama-lamanya 5 tahun. Artinya frasa “selama-lamanya” mengandung pengertian hukuman itu paling lama (5) lima tahun, sehingga Penulis berpendapat pidana lima tahun yang dimaksud tidak bersesuaian antara pasal 156a KUHP dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
2. Eksekusi Putusan oleh Jaksa Mengenai Penahanan Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama
Eksekusi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab Jaksa. Pelaksanaan putusan hakim harus didasarkan pada keadilan dan kemanusiaan. Asas ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK). .
Dasar hukum eksekusi penahanan Terdakwa Basuki Thajahaya Puranama (Ahok) didasarkan pada adanya amar putusan majelis hakim yang memerintahkan agar Terdakwa ditahan. Sehingga dengan segera setelah persidangan selesai dan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menutup persidangan, Jaksa langsung mengeksekusi Terdakwa dengan cara menahan dan membawa ke Rumah Tanahan Cipinang.
a. Terdakwa Banding
Setelah pembacaan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai, tidak berselang lama Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Penasihat Hukumnya menyatakan Banding atas vonis tersebut, sehingga putusan tersebut menurut KUHAP belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Apabila suatu putusan yang dinyatakan Banding, maka putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karenanya amar pemidanaan yang terkandung dalam putusan itu belum bisa dieksekusi oleh Jaksa karena KUHAP memberi penjelasan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan membatasi Jaksa melaksanakan suatu putusan dengan beberapa syarat, seperti dalam Pasal 270 KUHAP berbunyi:
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”
Jika menilik Penjelasan KUHAP mengenai Pasal 270 tersebut di atas adalah tertulis “cukup jelas”, artinya Pembuat Undang Undang merasa tidak perlu lagi menjelaskan maksud dari Pasal tersebut karena sudah jelas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) hanya dapat dilakukan apabila putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak boleh melasanakan suatu putusan apabila masih ada proses banding ataupun kasasi. Maka Jaksa hanya boleh mengeksekusi suatu putusan apabila: (1). Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap; dan (2). Panitera telah mengirimkan salinan putusan.
b. Perintah Penahanan Jika Terdakwa Banding
Sejak awal, pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Pengadilan pada proses penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, tidak pernah melakukan penahanan terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), sampai dengan akhirnya di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Utara Terdakwa diputus bersalah dan divonis 2 (dua) tahun penjara serta perintah agar segera dilakukan penahanan.
Penulis beranggapan, terdapat kejanggalan amar putusan dan juga eksekusi terhadap putusan tersebut. Karena segera setelah putusan pemidanaan selesai dibacakan Terdakwa menyatakan Banding, maka pada saat itu juga Putusan yang diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum berkekuatan hukum tetap dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, sesuai dengan Pasal 238 KUHAP ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan sebagai berikut:
Ayat (2)
“Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.”
Ayat (3)
“Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan Terdakwa.”
Dari ketentuan Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP tersebut, jelas bahwa wewenang penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak saat Terdakwa menyatakan Banding. Oleh karenanya, ketika ada permintaan Banding, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi bahwa seorang Terdakwa telah mengajukan banding, maka sejak saat itu juga kewenangan menahan seorang Terdakwa telah beralih kepada Pengadilan Tinggi.
Asumsi penulis, jika wewenang penahanan telah beralih kepada Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan Banding, maka secara otomatis amar penahanan yang terdapat dalam putusan pemidanaan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sudah tidak memiliki kekuatan eksekutorial lagi.
E. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang Terhadap Pasal 197 huruf (k) KUHAP.
Sesuai dengan pertimbangan majelis hakim mengenai pertimbangan hukum untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa Basuki Tjahaya Purnama yang dituangkan dalam pertimbangan yang ke- 84 dan ke- 85 yang terdapat pada halaman 615 dan halaman 616 putusan pemidanaan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR, yang menyebutkan:
Pertimbangan ke-84
“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyebutkan bahwa Surat putusan pemidanaan menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”
Pertimbangan ke-85
“Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k, dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa majelis hakim berpendapat bahwa apabila Terdakwa tidak ditahan maka putusan tersebut batal demi hukum karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Menurut M. Yahya Harahap, selama ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP masih eksis dan valid atau dengan kata lain, selama ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP “tidak diubah” atau “tidak dihapus”, maka setiap putusan pemidanaan peradilan tingkat apapun (tingkat pertama, tingkat banding atau tingkat kasasi) yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP: dengan sendirinya putusan itu “batal demi hukum”; setiap putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang “tidak sah” dan “sejak semula dianggap tidak pernah ada”; oleh karena itu, putusan yang demikian “tidak mengikat” sehingga pada putusan itu “tidak melekat kekuatan eksekutorial”; dan apabila JPU mengeksekusinya, berarti tindakan itu “sewenang-wenang” dan “inkonstitusional” serta “melanggar HAM” karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945 serta Pasal 17 dan Pasal 34 UU HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999).
Bulan November 2012 , Mahkamah Konstitusi, melalui putusan Nomor 69/PUU-X/2012, telah mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 197 huruf (k) mengenai perintah penahanan terdakwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Selengkapnya amar putusannya berbunyi:
“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;”
Sehingga berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa putusan yang tidak memuat amar putusan “memerintahkan agar terdakwa ditahan” sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf k, tidak batal demi hukum. Berikut bunyi lengkap Pasal 197 ayat (2) setelah diuji oleh Mahkamah Konstitusi:
“Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”;
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”;
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka suatu putusan pemidanaan yang tidak memuat amar penahanan terdakwa tidak mengakibatkan putusan itu batal demi hukum.
Sedangkan menurut Yahya Harahap, Sifat dan tingkat kebatalan (nietigheid/nulliteit, voidness/nullity) putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig, legally null and void/void ipso jure). Bukan bersifat atau berderajat dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable) , akan tetapi demi hukum putusan tersebut dengan sendirinya batal.
F. Perbedaan Amar Putusan Buni Yani dengan Amar Putusan Basuki Tjahaya Purnama Tentang Perintah Penahanan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Buni Yani, terdakwa kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia dinyatakan bersalah mengubah video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Buni yani terbukti melakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu tahun enam bulan”
Majelis hakim beranggapan bahwa Buni Yani melanggar Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1 tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
Berbeda dengan putusan pemidanaan Basuki Tjahaya Punama, yang dalam amar putusan dicantumkan perintah untuk ditahan, dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa Buni Yani, walaupun sma-sama terbukti bersalah dan dihukum penjara 18 bulan, tetapi yang bersangkutan tidak diperintahkan untuk ditahan. Majelis hakim beranggapan bahwa terdakwa tidak perlu ditahan, tanpa menggunakan dasar hukum seperti dalam putusan Basuki Tjahaya Purnama yang mengutip Pasal 197 huruf (k).
Dalam pertimbangan untuk menahan terdakwa Buni Yani, majelis hakim hanya mengatakan:
"Menimbang bahwa selama persidangan terdakwa tidak ditahan dan menurut majelis hakim tidak cukup alasan untuk menahan, maka terdakwa tidak ditahan,"
Di sini muncul perbedaan pendapat antara hakim yang mangadili terdakwa Basuki Tjahaya Purnama dengan hakim yang mengadili terdakwa Buni Yani. Penulis melihat ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai perintah penahanan tersebut. Tidak adanya dasar hukum dalam pertimbangan yang diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, mendorong Penulis berpendapat bahwa hakim hanya menggunakan diskresi subjektif mengenai tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa Buni Yani.
Setelah melakukan pembahasan dan analisis dengan saksama, penulis menarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Jaksa merupakan satu-satunya institusi yang dapat melaksanakan putusan pengadilan pidana (executive ambtenaar). Wewenang eksekutorial tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 6 huruf a, Pasal 270, Pasal 278 KUHAP. Dimana ketiga pasal tersebut mengharuskan pelaksanaan putusan (eksekusi) dilakukan apabila putusan itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewidsje). Apabila terhadap suatu putusan masih dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi, maka secara hukum putusan itu belum dapat dieksekusi. Penahanan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama yang dilakukan oleh Jaksa atas dasar eksekusi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang belum memiliki kekuatah hukum tetap bertentangan dengan KUHAP dan tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
2. Majelis hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi adanya disparitas putusan atara pengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya. Majelis hakim harus tunduk dan patuh terhadap KUHAP dan juga terhadap putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan itu bersifat terakhir dan mengikat (final dan binding). Dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa, majelis hakim harus mengacu pada dakwaan penuntut umum, putusan yang melebihi dakwaan penuntut umum tidak diperbolehkan dalam hukum pidana. Demikian juga halnya mengenai syarat subjektif dalam melakukan penahanan terdakwa, mejelis hakim seyogiayanya dalam menilai suatu tersangka yang dikhawatirkan akan melarikan diri, akan mengulagi tindak pidana, dan akan menghilangkan barang bukti diharuskan untuk bertanya kepada penuntut umum dan penyidik karena merekalah yang paling mengatahui dan mendalami mengenai kondisi, situasi maupun itikad baik dari seorang tersangka dan/atau terdakwa.
5. REFERENSI
Cahzawi A. H. 2009. Hukum Pidana Positif Penghinaan. PMN. Surabaya.
Rifai A. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta.
Mahrus A. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Sinar Grafika. Jakarta.
Hamzah A. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sofyan A. 2012. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Mahakarya Rangkang Offset. Yogyakarta,.
Sabuan A., Pettanasse S. 1990. Hukum Acara Pidana, Angkasa. Bandung.
Bambang P. 1993. Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta.
Sutiyoso B. 2010. Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Jurnal Hukum No. 2. Volume 17. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta.
Arief B. N. 2008. Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta.
Prakoso D. 2005. Eksistensi Jaksa di tengah-tengah Masyarakat. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hiariej E. O. S. 2015. Beberapa Catatan RUU KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta.
Fadel, 2012. Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia. Universitas Hassanuddin, Makassar.
Hamid H. H. dan Husein M. 1991. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Sinar Grafika, Jakarta.
Sasangka H., 2007. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, Dan Praperadilan Dalam Teori Dan Praktek: Untuk Praktisi, Dosen, Dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung.
Hartono, 2010. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana: Melalui Pendekatan Hukum Progresif. PT. Sinar Grafika, Jakarta.
Hebert L Packer, 1968. The Limits of the Criminal Sanction, Dalam Buku Terjemahan oleh Eddy O. S. Hiariej, Oxford University Press.
Hendrastanto. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.
Simorangkir J.C.T. 2010 Kamus Hukum. Cetakan Ke 14, Sinar Grafika, Jakarta.
Ibrahim J. 2007. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing, Malang.
Kelsen Hans, 2008. Introduction to the Problem of Legal Theory, a translation of the Reine Rechslehre of Pure Theory of Law by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, re-printed, Oxford University Press.
Marpaung L. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Mulyadi L. 2010. Kompilasi Hukum Pidana; Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Mandar Maju, Bandung.
Loeqman L. 1984 Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pangaribuan L. M. P. 2006. Hukum Acara Pidana, Surat-surat di Pengadilan oleh advokat. Djambatan, Jakarta.
Asmawie M. H. 1985. Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP. Pradnya Paramita, Jakarta.
Harahap M. Y. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,.
Mambaya M. 2015. Kesesatan Peradilan; Perspektif Hukum dan Etika dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta.
Effendy M. 2005. Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Moeljatno. 2015. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Makarao M. T. & Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nusantara, G. & Pangaribuan L. 1986. KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana. Djambatan, Jakarta.
Lamintang P.A.F & Lamintang T. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Sinar Grafika, Jakarta.
Sinlaeloe P. 2015. Memahami Surat Dakwaan”, Cetakan Pertama, PIAR, NTT.
Djoko P, 2005. Eksistensi Jaksa ditengah-tengah masyarakat. Ghalia, Jakarta.
Prodjohamidjojo & Martiman, 1984. Kedudukan Tersangka dan Terdakwa dalam Pemeriksaan (Seri Pemerataan Keadilan)”, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ahmad R. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Malang
Atmasasmita R, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Utsman S. 2014 Metodologi Penelitian Hukum Progresif. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Oemar S. A, 1980 Hukum Acara Pidana. Septa Arya Jaya, Jakarta.
Soeparmono, 2003. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP. Mandar Maju, Bandung.
Soekanto S. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.
Soesilo, R. 1976 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea, Bogor.
Mertokusumo S. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
Suparman, 1997. Strategi Kejaksaan dalam Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia. Makalah. Surakarta.
Suratman, 2013. Metode Penelitan Hukum”, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Santoso T. 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil. Rajawali Press.
Andrisman T. 2010. Hukum Acara Pidana”, Universitas Lampung. Lampung.
Prodjodikoro W. 1990. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur Simanjuntak. Bandung.
Mahendra Y. I. 2012. Kedudukan Kejakssaan Agung dan Posisi Jaksa Agung Dalam isite, Presidensiao di Bawah UUD 1945. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar