SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 4 (BAB III PUTUSAN PENGADILAN DAN PENETAPAN HAKIM)


BAB III
PUTUSAN PENGADILAN DAN PENETAPAN HAKIM
                                                                                                                                         
A.           Pengertian Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak.[1]
Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa putusan pengadilan sebagai:
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Putusan diambil berdasarkan sidang Permusyawaratan Hakim yang bersifat rahasia. Sedangkan menurut Lilik Mulyadi, Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.[2]
Putusan hakim pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu di dalam menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat menjatuhkan wibawa pengadilan.[3]
B.            Putusan yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap
Sebelum putusan pemidanaan diucapakan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya yaitu:[4] (a) hak segera menerima atau segera menolak putusan; (b) hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan; (c) hak meminta penagguhan pelaksanaan putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi; (d) hak untuk minta banding dalam waktu tujuh hari; (d) hak untuk mencabut pernyataan banding sebelum diputus oleh pengadilan tinggi.
Dalam hal terdakwa menggunakan haknya dengan mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi, maka pada saat diajukannya permintaan banding tersebut, berakhir pula kekuatan eksekusi dari putusan itu. Segala kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri secara otomatis beralih kepada Pengadilan Tinggi, apakah terhadap penahanan terdakwa maupun barang bukti (Pasal 238 ayat (2) KUHAP).[5]
Perkara yang masih dimintakan banding berarti belum menjadi keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan yang bersangkutan masih berkedudukan sebagai terdakwa.[6]
C.           Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

“Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: (1) putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; (2) putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau (3) putusan kasasi.

Dari penjelasan Pasal tersebut di atas dapat ditarik 3 (tiga) ketentuan mengenai putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewidsje) yaitu:
1.         Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang Tidak Diajukan Banding
Dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Tahun 1970, menentukan bahwa semua putusan pengadilan negeri selain putusan pembebasan dari tuduhan, terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dapat minta banding, kecuali undang-undang menentukan lain.[7]
Tidak semua putusan dapat dimintakan banding. Pasal 67 KUHAP mengatur hal tersebut sebagai berikut:[8]
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan pengadilan dalam acara cepat”

Menurut rumusan Pasal 67 KUHAP di atas maka ada 3 (tiga) putusan yang tidak dapat dimintakan banding, yaitu:[9]
1.      Putusan bebas (vrijspraak)
Putusan bebas dijelaskan dalam Pasal 191 angka (1), apabila kesalahan terdakwa sesuai perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terhadap putusan bebas yang demikian tidak dapat diajukan permintaan banding.
2.      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum (onslag van rechts vervolging).
Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam pasal 191 angka (2), yakni dalam hal pengadilan berpendapat apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana.
3.      Putusan pengadilan dalam acara cepat.
Terhadap putusan acara cepat, baik perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak dapat diminta banding, kecuali pabila putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan.[10]
Permintaan banding diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan dijatuhkan atau 7 (tujuh) hari setelah diberitahukan kepada terdakwa. Permintaan banding tersebut diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan tersebut. Permintaan banding tersebut dapat diajukan secara lisan, baik oleh terdakwa atau kuasa hukumnya maupun oleh penuntut umum (Pasal 233 KUHAP).
Permintaan banding tersebut dapat dicabut sebelum diputus (Pasal 235 KUHAP), tetapi bila permintaan banding sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Hal ini untuk menjamin adanya kepastian sebab jika permintaan pencabutan banding telah diajukan, maka putusan itu telah berkekuatan hukum tetap.[11]
2.   Putusan Pengadilan Tingkat Banding yang Tidak Diajukan Kasasi
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut KUHAP suatu permohonan ditolak jika:[12]
a)      Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP). Walaupun akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui pengujian undang-undang,  memutuskan bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini terjadi setelah MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Putusan Nomor 114/PUU-X/2012;
b)      Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu 14 (empat belas hari) sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP);
c)      Sudah ada putusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 angka (4) KUHAP);
d)      Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 angka (1) KUHAP, atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 angka (2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengjukan memori kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi;
e)      Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 235 angka (1) KUHAP.
3.   Putusan Kasasi
Peradilan kasasi berasal dari sistem hukum Prancis. Kasasi di Prancis disebut Cassation yang berasal dari kata kerja Casser yang artinya membatalkan atau memecahkan.[13]
Kasasi merupakan upaya hukum terakhir dalam upaya hukum biasa, artinya putusan Mahkamah Agung melalui kasasi sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan sudah bisa dieksekusi, walaupun masih ada upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK) tetapi tidak menghalangi Jaksa untuk melakukan eksekusi.
D.           Syarat Putusan
Menurut Leden Marpaung[14] jika melihat uraian dan ketentuan Pasal 195 dan Pasal 197 angka (1) dan (2) KUHAP, suatu putusan pengadilan yang sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum;
2.      Memuat hal-hal yang diwajibkan Pasal 197 angka (1) dan (2) KUHAP.
Dalam pasal 197 angka (1) KUHAP mengatur mengenai formalitas yang harus dipenuhi putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Ketentuan tersebut yaitu:
a.       Kepala Putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b.      Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c.       Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan.
d.      Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e.       Tuntutan Pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f.        Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndang-Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g.      Hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h.      Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i.        Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j.        Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu
k.      Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l.        Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan panitera.[15]
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP, dikatakan bahwa surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.[16]
1.      Putusan Batal Demi Hukum
Nulliet atau batal demi hukum adalah putusan sejak semula dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan apapun, dengan sendirinya tidak mempunyai kekutan hukum, tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak keliru jika tidak dilaksanakan (dieksekusi). Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai alternatif lain selain harus diperbaiki, atau harus disempurnakan[17]
Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal demi hukum sebagaimana yang diancam Pasal 197 angka (2) KUHAP, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:[18]
a.      Kepala Putusan yang Dituliskan Berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan Irah-Irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggung jawabkan secara horizontal kepada manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.[19]
b.      Nama Lengkap, Tempat Lahir, Umur atau Tanggal Lahir, Jenis Kelamin, Kebangsaan, Tempat Tinggal, Agama atau Pekerjaan Terdakwa.
Mengenai identitas terdakwa ini juga merupakan syarat formil yang harus terpenuhi dalam melakukan pemeriksaan baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat pemeriksaan di pengadilan. Pencantuman identitas tersebut secara lengkap sangatlah penting terutama untuk menghindari kekeliruan mengenai orang yang harus diadili, sebab dengan terjadinya sedikit kekeliruan dalam penulisan identitas terdakwa tersebut akan mempunyai akibat yang besar. Jika hakim bependapat bahwa adanya kekeliruan dalam identitas terdakwa maka hakim dapat menghentikan pemeriksaan dengan  keputusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.[20]
c.       Dakwaan Sebagaimana Terdapat dalam Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat Kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan, terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.[21]
d.      Pertimbangan yang Disusun Secara Ringkas, Mengenai Fakta dan Keadaan Beserta Alat Pembuktian yang Diperoleh dari Pemeriksaan di Sidang yang Menjadi Dasar Penentuan Kesalahan Terdakwa.
Hakim dalam mempertimbangkan fakta dan keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan di dalam pemeriksaan sidang pengadilan, apa lagi mengenai hal yang meringankan serta memberatkan terdakwa harus jelas diuraikan dalam pertimbangan putusan karena landasan yang digunakan sebagai dasar tolak ukur untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa serta pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang pengadilan merupakan dasar penentuan kesalahan terdakwa[22]
e.       Tuntutan Pidana Sebagaimana Terdapat dalam Surat Tuntutan
Pasal 182 angka (1) huruf a KUHAP yang menyatakan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut mengajukan tuntutan pidana.
Dalam suatu tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh penuntut umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa. Di dalam surat tuntutan (requisitor) terdapat pembahasan yuridis yang memuat semua unsur-unsur delik dan bukti-bukti yang mendukung delik tersebut termasuk persepsi, kata atau rumusan pada dakwaan dengan penerapan hukumnya.[23]
f.        Pasal Peraturan Perundang-Undangan yang  Menjadi Dasar Pemidanaan atau Tindakan dan  Pasal Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi Dasar Hukuman dari Putusan, Disertai Keadaan yang Memberatkan dan yang Meringankan Terdakwa
Mengenai ketentuan ini, Yahya Harahap menjelaskan dua hal:[24]
1.      Mengenai penyebutan pasal dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan. Sebaiknya ada penyebutan yang tegas pada pasal hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP maupun penguraian jelas tentang pasal hukum materiil yang diatur dalam KUHP;
2.      Mengenai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan hukuman. Pasal 8 Ayat (2) undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  menyatakan bahwa:
“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib pula memperhatikan sifat baik dan jahat dari terdakwa.”

h.      Pernyataan Kesalahan Terdakwa, Pernyataan Telah Terpenuhi Semua Unsur dalam Rumusan Tindak Pidana Disertai dengan Kualifikasinya dan Pemidanaan atau Tindakan yang Dijatuhkan
Pernyataan kesalahan terdakwa, merupakan penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya peryataan tersebut dicantumkan dalam amar putusan.[25]
i.        Ketentuan Kepada Siapa Biaya Perkara Dibebankan dengan Menyebut Jumlahnya yang Pasti dan Ketentuan Mengenai Barang Bukti;
Surat Edaran Mahkamah Agung no 17  tahun 1983 menyatakan bahwa:
Pasal 197 ayat (1) huruf I KUHAP menyebutkan: "Surat putusan pemidanaan memuat ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti."Mengenai berapa jumlah biaya perkara yang pasti tersebut hendaknya Saudara tetap berpegang kepada Surat Ketua Mahkamah Agung - RI tanggal 19 Oktober 1981 No. KMA/155/X/1981 yang ditujukan kepada Saudara Ketua Pengadilan Tinggi se Indonesia, dengan penegasan lebih lanjut bahwa ketentuan jumlah maksimum Rp. 10.000 dan minimum Rp.5000 biaya perkara yang tersebut dalam Surat Ketua Mahkamah Agung - RI itu, tidak boleh dilampaui maupun dikurangi. Agar biaya perkara tersebut benar-benar dapat dibayar oleh terpidana/dieksekusi oleh jaksa, hendaknya dalam menentukan besarnya jumlah biaya perkara itu Saudara benar-benar memperhatikan kemampuan terdakwa, dengan pengertian bahwa apabila terdakwa tidak mampu atau pun tidak membayar jaksa, pada prinsipnya dapat menyita sebagian barang-barang milik terpidana untuk dijual lelang yang kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya perkara tersebut”

j.        Keterangan Bahwa Suluruh Surat Teryata Palsu atau Keterangan Dimana Letaknya Kepalsuan, jika Terdapat Surat Autentik Dianggap Palsu;
Yahya Harahap berpendapat, jika persidangan menemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalusn itu dijelaskan dalam putusan.[26]
k.      Perintah Supaya Terdakwa Ditahan atau Tetap dalam Tahanan atau Dibebaskan;
Mahkamah Konstitusi telah menguji ketntuan ini dengap putusan Nomor 69/PUU-X/2012. Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
l.        Hari dan Tanggal Putusan, Nama Penuntut Umum, Nama Hakim yang Memutus dan Nama Panitera
Ketentuan Pasal 197 ayat (1) Huruf l merupakan bagian penutup dalam membuat surat  putusan pemidanaan yang dimana sifat surat putusan tersebut bersifat akta otentik yang tujuannya sebagai  keabsahan putusan yang dinyatakan sah oleh pejabat yang berwenang untuk itu.[27]

E.            Penetapan Dalam KUHAP dan Perbedaannya dengan Putusan
Penulis tidak menemukan penjelasan yang terang mengenai Penetapan di dalam KUHAP. Hanya saja KUHAP memberi sekilas gambaran mengenai Penetapan hakim dalam Pasal 1 angka (21) mengenai Penahanan, Pasal 96 angka (1) mengenai ganti kerugian, dan Pasal 99 angka (2) mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili. Tetapi mengenai Penetapan dalam putusan, Penulis tidak menemukan sama sekali dalam KUHAP, di dalam literatur yang juga Penulis tidak menemukan adanya ahli yang berpendapat bahwa Penetapan bisa dimasukkan dalam Putusan pengadilan.
Salah satu bentuk produk hukum hakim adalah Penetapan yang merupakan pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Lilik Mulyadi berpendapat bahwa:[28]
Penetapan dikeluarkan sebelum hakim memeriksa pokok perkara atau setelah penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri. Menurut ketentuan KUHAP atau praktek peradilan bentuk “penetapan” ini dibuat menyangkut aspek ketidak wenangan pengadilan mengadili perkara, baik bersifat kompetensi absolut (absolute competentie) maupun kompetensi relatif (relative competentie)”


Sedangkan Yahya Harahap menjelaskan:

Sekalipun ketentuan Pasal 197 hanya memuat ketentuan pemidanaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum, pada hakikatnya ketentuan itu berlaku terhadap jenis putusan lain, terutama terhadap jenis putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, kecuali kepada keputusan yang berupa penetapan” tidak berwenang mengadili, ketentuan  Pasal 197 tidak merupakan syarat penetapan.

            Sependek pemahaman Penulis, dalam memaknai eksekusi pemidanaan terlebih dahulu kita harus memahami batasan dan ruang lingkup eksekusi pemidanaan (Vonnis). Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi harus dibedakan dengan pelaksanaan penetapan pengadilan, pelaksanaan putusan pengadilan ini di dalam KUHAP diatur dari Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi merupakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya tidak ada upaya lagi untuk mengubah putusan itu, sedangkan pelaksanaan penetapan hakim (beschikking)  yang dimaksud ialah  berdasarkan ketentuan Pasal 148 ayat (1)KUHAP adalah:
“jika perkara tersebut tidak termasuk dalam wewenang mengadili pengadilan yang dipimpin maka ia harus menyerahkan kepada pengadilan yang berwenang untuk mengadili”[29]

berdasarkan penjelasan ruang lingkup tersebut maka jelaslah mana yang dimaksud pelaksananan putusan pengadilan dan mana yang dimaksud pelaksanaan penentapan pengadilan.
            Di samping pembedaan antara pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi dan pelaksanaan penetapan hakim, pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi juga harus dibedakan dengan pelaksanaan pidana meskipun keduanya merupakan materi di dalam eksekusi pemidanaan. Putusan pengadilan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde).



[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 206.
[2] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007, hal. 127.
[3] Tri Andrisman, Hukum Acara Pidana, Universitas Lampung, Lampung, 2010, hlm. 68.
[4] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, CV Sapta Artha Jaya,  Jakarta, 1996, hlm. 293.
[5] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana…, Op. Cit, hlm. 163.

[6] Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 54.
[7] Ibid, hlm. 55.
[8] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 159.
[9] Ibid.
[10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Op. Cit, hlm. 460.
[11] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 160
[12] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia  hlm. 309.
[13] Ibid, hlm. 169.
[14] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 148.
[15] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Yogyakarta, 2000, hlm. 147-148.
[16] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara… Op. Cit, hlm. 266.
[17] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 146
[18] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Op. Cit, hlm. 360.
[19] Mahkamah Agung, Buku Pedoman perilaku hakim, Diterbitkan, 22 Desember 2006.
[20] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,. Pembahasan KUHAP... hlm.305.
[21] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 21.
[22] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Op. Cit, hlm. 361.
[23] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana; di Kejaksaan…, Op. Cit, hlm. 124.
[24] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Loc. Cit.
[25] Ibid, hlm. 364.
[26] Ibid, hlm. 369.
[27] Ibid, hlm. 370.
[28] Lilik mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Batti, Yogyakarta, 2007, hlm.161-162.
[29] Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2008, hlm. 128.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meat, Desa Indah di Pinggiran Danau Toba, Tampahan, Balige

Trio Amsisi