SKRIPSI TENTANG EKSEKUSI PUTUSAN PENAHANAN AHOK - PART 4 (BAB III PUTUSAN PENGADILAN DAN PENETAPAN HAKIM)
BAB
III
PUTUSAN
PENGADILAN DAN PENETAPAN HAKIM
A.
Pengertian Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan yang
diucapkan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara antara para pihak.[1]
Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menyebutkan bahwa putusan pengadilan sebagai:
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”
Menurut
ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Putusan diambil berdasarkan sidang Permusyawaratan Hakim
yang bersifat rahasia. Sedangkan menurut Lilik Mulyadi, Putusan yang di ucapkan
oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka
untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada
umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan
perkara.[2]
Putusan hakim pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan
dalam menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu di dalam menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar selalu
berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak
mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat
menjatuhkan wibawa pengadilan.[3]
B.
Putusan yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap
Sebelum putusan pemidanaan
diucapakan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa
yang menjadi haknya yaitu:[4] (a) hak
segera menerima atau segera menolak putusan; (b) hak mempelajari putusan
sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan; (c) hak meminta penagguhan
pelaksanaan putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi; (d) hak untuk minta banding dalam waktu tujuh hari; (d) hak
untuk mencabut pernyataan banding sebelum diputus oleh pengadilan tinggi.
Dalam hal terdakwa menggunakan
haknya dengan mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi, maka pada saat
diajukannya permintaan banding tersebut, berakhir pula kekuatan eksekusi dari
putusan itu. Segala kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri secara
otomatis beralih kepada Pengadilan Tinggi, apakah terhadap penahanan terdakwa
maupun barang bukti (Pasal 238 ayat (2) KUHAP).[5]
Perkara yang masih dimintakan
banding berarti belum menjadi keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan yang bersangkutan masih berkedudukan sebagai terdakwa.[6]
C.
Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi yang berbunyi:
“Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: (1) putusan pengadilan tingkat pertama
yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; (2) putusan pengadilan tingkat
banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau (3) putusan kasasi.
Dari penjelasan Pasal tersebut di atas dapat ditarik 3
(tiga) ketentuan mengenai putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewidsje) yaitu:
1.
Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang Tidak Diajukan
Banding
Dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman
Tahun 1970, menentukan bahwa semua putusan pengadilan negeri selain putusan
pembebasan dari tuduhan, terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dapat minta
banding, kecuali undang-undang menentukan lain.[7]
Tidak semua putusan dapat dimintakan
banding. Pasal 67 KUHAP mengatur hal tersebut sebagai berikut:[8]
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta
banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan
bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan pengadilan dalam acara cepat”
Menurut rumusan Pasal 67 KUHAP di atas maka ada 3
(tiga) putusan yang tidak dapat dimintakan banding, yaitu:[9]
1.
Putusan
bebas (vrijspraak)
Putusan bebas dijelaskan dalam Pasal 191 angka (1),
apabila kesalahan terdakwa sesuai perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, terhadap putusan bebas yang demikian tidak dapat
diajukan permintaan banding.
2.
Putusan
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum (onslag van rechts
vervolging).
Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, diatur dalam pasal 191 angka (2), yakni dalam hal pengadilan berpendapat
apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan
yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana.
3.
Putusan
pengadilan dalam acara cepat.
Terhadap putusan acara cepat, baik perkara yang
diperiksa dengan acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu
lintas jalan, tidak dapat diminta banding, kecuali pabila putusan itu berupa
pidana perampasan kemerdekaan.[10]
Permintaan banding diajukan paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan dijatuhkan atau 7 (tujuh) hari setelah
diberitahukan kepada terdakwa. Permintaan banding tersebut diajukan kepada
panitera pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan tersebut. Permintaan
banding tersebut dapat diajukan secara lisan, baik oleh terdakwa atau kuasa
hukumnya maupun oleh penuntut umum (Pasal 233 KUHAP).
Permintaan banding tersebut dapat
dicabut sebelum diputus (Pasal 235 KUHAP), tetapi bila permintaan banding sudah
dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Hal ini untuk menjamin adanya
kepastian sebab jika permintaan pencabutan banding telah diajukan, maka putusan
itu telah berkekuatan hukum tetap.[11]
2. Putusan
Pengadilan Tingkat Banding yang Tidak Diajukan Kasasi
Suatu
permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah
Agung. Menurut KUHAP suatu permohonan ditolak jika:[12]
a)
Putusan yang dimintakan kasasi ialah
putusan bebas (Pasal 244 KUHAP). Walaupun akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui
pengujian undang-undang, memutuskan
bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini terjadi
setelah MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 244
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Putusan Nomor
114/PUU-X/2012;
b)
Melewati tenggang waktu penyampaian
permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu
14 (empat belas hari) sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245
KUHAP);
c)
Sudah ada putusan kasasi sebelumnya mengenai
perkara tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 angka (4) KUHAP);
d)
Pemohon tidak mengajukan memori
kasasi (Pasal 248 angka (1) KUHAP, atau tidak memberitahukan alasan kasasi
kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 angka (2) KUHAP),
atau pemohon terlambat mengjukan memori kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari
sesudah mengajukan permohonan kasasi;
e)
Tidak ada alasan kasasi atau tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 235 angka (1) KUHAP.
3.
Putusan Kasasi
Peradilan kasasi berasal dari sistem hukum Prancis. Kasasi di Prancis
disebut Cassation yang berasal dari
kata kerja Casser yang artinya
membatalkan atau memecahkan.[13]
Kasasi merupakan upaya hukum
terakhir dalam upaya hukum biasa, artinya putusan Mahkamah Agung melalui kasasi
sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan sudah bisa dieksekusi, walaupun masih
ada upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK) tetapi tidak
menghalangi Jaksa untuk melakukan eksekusi.
D.
Syarat Putusan
Menurut Leden Marpaung[14] jika
melihat uraian dan ketentuan Pasal 195 dan Pasal 197 angka (1) dan (2) KUHAP,
suatu putusan pengadilan yang sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum;
2.
Memuat
hal-hal yang diwajibkan Pasal 197 angka (1) dan (2) KUHAP.
Dalam pasal 197 angka (1) KUHAP mengatur mengenai
formalitas yang harus dipenuhi putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim.
Ketentuan tersebut yaitu:
a.
Kepala
Putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b.
Nama
lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c.
Dakwaan,
sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan.
d.
Pertimbangan
yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
e.
Tuntutan
Pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f.
Pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan
Pasal peraturan perUndang-Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan
disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g.
Hari
dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh
hakim tunggal.
h.
Pernyataan
kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak
pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan.
i.
Ketentuan
kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti
dan ketentuan mengenai barang bukti.
j.
Keterangan
bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu,
jika terdapat surat otentik dianggap palsu
k.
Perintah
supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l.
Hari
dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan panitera.[15]
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP,
dikatakan bahwa surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika
setelah putusan itu diucapkan.[16]
1.
Putusan Batal Demi Hukum
Nulliet atau batal demi hukum adalah putusan sejak semula
dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan apapun, dengan
sendirinya tidak mempunyai kekutan hukum, tidak memiliki kekuatan hukum
sehingga tidak keliru jika tidak dilaksanakan (dieksekusi). Putusan yang batal
demi hukum tidak mempunyai alternatif lain selain harus diperbaiki, atau harus
disempurnakan[17]
Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal
demi hukum sebagaimana yang diancam Pasal 197 angka (2) KUHAP, apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:[18]
a. Kepala
Putusan yang Dituliskan Berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan Irah-Irah
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukan kewajiban
menegakkan keadilan yang dipertanggung jawabkan secara horizontal kepada
manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.[19]
b. Nama Lengkap, Tempat Lahir, Umur atau Tanggal Lahir,
Jenis Kelamin, Kebangsaan, Tempat Tinggal, Agama atau Pekerjaan Terdakwa.
Mengenai identitas terdakwa ini juga
merupakan syarat formil yang harus terpenuhi dalam melakukan pemeriksaan baik
di tingkat penyidikan maupun di tingkat pemeriksaan di pengadilan. Pencantuman
identitas tersebut secara lengkap sangatlah penting terutama untuk menghindari
kekeliruan mengenai orang yang harus diadili, sebab dengan terjadinya sedikit
kekeliruan dalam penulisan identitas terdakwa tersebut akan mempunyai akibat
yang besar. Jika hakim bependapat bahwa adanya kekeliruan dalam identitas terdakwa maka
hakim dapat menghentikan pemeriksaan dengan
keputusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.[20]
c.
Dakwaan Sebagaimana
Terdapat dalam Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan
perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri maupun
pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat Kasasi serta
pemeriksaan peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan
tuntutan, terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum
untuk perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.[21]
d. Pertimbangan yang Disusun Secara Ringkas, Mengenai Fakta
dan Keadaan Beserta Alat Pembuktian yang Diperoleh dari Pemeriksaan di Sidang
yang Menjadi Dasar Penentuan Kesalahan Terdakwa.
Hakim dalam mempertimbangkan fakta dan
keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan di dalam
pemeriksaan sidang pengadilan, apa lagi mengenai hal yang meringankan serta
memberatkan terdakwa harus jelas diuraikan dalam pertimbangan putusan karena
landasan yang digunakan sebagai dasar tolak ukur untuk menentukan berat
ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa serta pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang pengadilan merupakan dasar penentuan
kesalahan terdakwa[22]
e.
Tuntutan Pidana Sebagaimana
Terdapat dalam Surat Tuntutan
Pasal 182 angka (1) huruf a KUHAP yang menyatakan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut mengajukan
tuntutan pidana.
Dalam suatu tuntutan pidana biasanya
menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang
dituntut oleh penuntut umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa. Di dalam surat tuntutan (requisitor) terdapat pembahasan yuridis yang
memuat semua unsur-unsur delik dan bukti-bukti yang mendukung delik tersebut
termasuk persepsi, kata atau rumusan pada dakwaan dengan penerapan hukumnya.[23]
f.
Pasal Peraturan
Perundang-Undangan yang Menjadi Dasar
Pemidanaan atau Tindakan dan Pasal
Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi Dasar Hukuman dari Putusan, Disertai
Keadaan yang Memberatkan dan yang Meringankan Terdakwa
Mengenai ketentuan ini, Yahya Harahap menjelaskan dua
hal:[24]
1.
Mengenai
penyebutan pasal dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan.
Sebaiknya ada penyebutan yang tegas pada pasal hukum acara pidana yang diatur
dalam KUHAP maupun penguraian jelas tentang pasal hukum materiil yang diatur
dalam KUHP;
2.
Mengenai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan hukuman. Pasal 8 Ayat (2) undang-undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa:
“Dalam mempertimbangkan berat ringannya
pidana, hakim wajib pula memperhatikan sifat baik dan jahat dari terdakwa.”
h. Pernyataan Kesalahan Terdakwa, Pernyataan Telah Terpenuhi
Semua Unsur dalam Rumusan Tindak Pidana Disertai dengan Kualifikasinya dan
Pemidanaan atau Tindakan yang Dijatuhkan
Pernyataan kesalahan terdakwa, merupakan
penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya peryataan
tersebut dicantumkan dalam amar putusan.[25]
i.
Ketentuan Kepada Siapa
Biaya Perkara Dibebankan dengan Menyebut Jumlahnya yang Pasti dan Ketentuan
Mengenai Barang Bukti;
Surat Edaran Mahkamah Agung no 17
tahun 1983 menyatakan bahwa:
“Pasal 197 ayat (1) huruf I KUHAP menyebutkan:
"Surat putusan pemidanaan memuat ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti."Mengenai berapa jumlah
biaya perkara yang pasti tersebut hendaknya Saudara tetap berpegang kepada
Surat Ketua Mahkamah Agung - RI tanggal 19 Oktober 1981 No. KMA/155/X/1981 yang
ditujukan kepada Saudara Ketua Pengadilan Tinggi se Indonesia, dengan penegasan
lebih lanjut bahwa ketentuan jumlah maksimum Rp. 10.000 dan minimum Rp.5000 biaya perkara
yang tersebut dalam Surat Ketua Mahkamah Agung - RI itu, tidak boleh dilampaui
maupun dikurangi. Agar biaya perkara tersebut benar-benar dapat dibayar oleh
terpidana/dieksekusi oleh jaksa, hendaknya dalam menentukan besarnya jumlah
biaya perkara itu Saudara benar-benar memperhatikan kemampuan terdakwa, dengan
pengertian bahwa apabila terdakwa tidak mampu atau pun tidak membayar jaksa,
pada prinsipnya dapat menyita sebagian barang-barang milik terpidana untuk
dijual lelang yang kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya
perkara tersebut”
j.
Keterangan Bahwa Suluruh Surat Teryata
Palsu atau Keterangan Dimana Letaknya Kepalsuan, jika Terdapat Surat Autentik
Dianggap Palsu;
Yahya Harahap berpendapat, jika
persidangan menemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan
perkara yang bersangkutan, kepalusn itu dijelaskan dalam putusan.[26]
k. Perintah Supaya Terdakwa Ditahan atau Tetap dalam Tahanan
atau Dibebaskan;
Mahkamah Konstitusi
telah menguji ketntuan ini dengap putusan Nomor 69/PUU-X/2012. Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD
RI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
l.
Hari dan Tanggal Putusan, Nama
Penuntut Umum, Nama Hakim yang Memutus dan Nama Panitera
Ketentuan
Pasal 197 ayat (1) Huruf l merupakan bagian penutup dalam membuat surat putusan pemidanaan yang dimana sifat surat
putusan tersebut bersifat akta otentik yang tujuannya sebagai keabsahan putusan yang dinyatakan sah oleh
pejabat yang berwenang untuk itu.[27]
E.
Penetapan Dalam KUHAP dan Perbedaannya dengan Putusan
Penulis
tidak menemukan penjelasan yang terang mengenai Penetapan di dalam KUHAP. Hanya
saja KUHAP memberi sekilas gambaran mengenai Penetapan hakim dalam Pasal 1
angka (21) mengenai Penahanan, Pasal 96 angka (1) mengenai ganti kerugian, dan
Pasal 99 angka (2) mengenai pengadilan tidak
berwenang mengadili.
Tetapi mengenai Penetapan dalam putusan, Penulis tidak menemukan sama sekali
dalam KUHAP, di dalam literatur yang juga Penulis tidak menemukan adanya ahli
yang berpendapat bahwa Penetapan bisa dimasukkan dalam Putusan pengadilan.
Salah satu bentuk produk
hukum hakim adalah Penetapan yang merupakan pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Lilik Mulyadi berpendapat bahwa:[28]
“Penetapan dikeluarkan sebelum hakim memeriksa
pokok perkara atau setelah penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri. Menurut ketentuan KUHAP atau praktek peradilan bentuk “penetapan” ini
dibuat menyangkut aspek ketidak wenangan pengadilan mengadili perkara, baik
bersifat kompetensi absolut (absolute
competentie) maupun kompetensi relatif (relative
competentie)”
Sedangkan Yahya
Harahap menjelaskan:
“Sekalipun ketentuan Pasal 197 hanya memuat
ketentuan pemidanaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum, pada
hakikatnya ketentuan itu berlaku terhadap jenis putusan lain, terutama terhadap
jenis putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, kecuali kepada
keputusan yang berupa “penetapan” tidak berwenang mengadili, ketentuan Pasal
197 tidak merupakan syarat penetapan.
Sependek pemahaman Penulis, dalam memaknai eksekusi
pemidanaan terlebih dahulu kita harus memahami batasan dan ruang lingkup
eksekusi pemidanaan (Vonnis). Pelaksanaan putusan
pengadilan atau eksekusi harus dibedakan dengan pelaksanaan penetapan
pengadilan, pelaksanaan putusan pengadilan ini di dalam KUHAP diatur dari Pasal
270 sampai Pasal 276 KUHAP. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi
merupakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya
tidak ada upaya lagi untuk mengubah putusan itu, sedangkan pelaksanaan penetapan hakim (beschikking) yang dimaksud ialah berdasarkan ketentuan Pasal 148 ayat (1)KUHAP
adalah:
“jika
perkara tersebut tidak termasuk dalam wewenang mengadili pengadilan yang
dipimpin maka ia harus menyerahkan kepada pengadilan yang berwenang untuk
mengadili”[29]
berdasarkan penjelasan ruang lingkup tersebut maka
jelaslah mana yang dimaksud pelaksananan putusan pengadilan dan mana yang
dimaksud pelaksanaan penentapan pengadilan.
Di samping pembedaan antara pelaksanaan putusan
pengadilan atau eksekusi dan pelaksanaan penetapan hakim, pelaksanaan putusan
pengadilan atau eksekusi juga harus dibedakan dengan pelaksanaan pidana
meskipun keduanya merupakan materi di dalam eksekusi pemidanaan. Putusan
pengadilan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap ( inkracht van gewijsde).
[2] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum
Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007, hal. 127.
[4] Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 293.
[6] Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana
Indonesia, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 54.
[10] M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Op. Cit, hlm. 460.
[15] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra
Aditya Bhakti, Yogyakarta, 2000, hlm. 147-148.
[18] Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Op. Cit, hlm.
360.
[22] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang
Pengadilan…. Op. Cit, hlm. 361.
[24] M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan Kuhap; Pemeriksaan Sidang Pengadilan…. Loc. Cit.
[29]
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 2008, hlm. 128.
Komentar
Posting Komentar