Konsekuensi Hukum Apabila Undang-Undang MD3 tidak diteken oleh Presiden
Adakah Undang-undang yang tidak ditanda tangani oleh Presiden tetapi berlaku dan sah sebagai Undang-undang yang telah diundangkan?
Ada beberapa Undang-undang yang tidak ditanda tangani oleh Presiden, sebut saja salah satunya yang menyedot perhatian para Advokat kala itu, Megawati Soekarnoputri selaku Presiden tidak menandatangani Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Penulis (ehem ehem... sok-sokan pake kata Penulis, emang paper... heheh) tidak akan membicarakan mengenai UU Advokat tersebut, tapi akan fokus kepad UU MD3.
Undang-Undang Merupakan Produk Politik
Di Indonesia, tidak ada satu Undang-undang pun yang lahir tidak melalui proses politik, bahkan Dekrit Presiden Soekarno 1969 lahir atas desakan massa yang menginginkan kembali Ke UUD 1945. Pembentukan UU selalu mengakomodasi kepentingan politik, jika "hajatan" pembentukan UU berasal dari Legislatif, maka Legislatif akan lebih aktif melakukan lobi-lobi kepada eksekutif, begitu juga sebaliknya, jika eksekutif yang berkepentingan akan UU tersebut, maka biasanya Legislatif akan jual mahal karena merasa memiliki daya tawar tinggi.
Terlepas dari banyaknya kepentingan politik anggota MPR, DPR, DPRD dan DPD yang terkandung di dalam UU MD3, setelah selesai melakukan rapat paripurna dan men-sahkan suatu UU maka secara teori, UU tersebut sudah 90% sah dan berlaku. Kenapa 90% sudah sah sebagai UU yang berlaku? Setelah Amandemen Ke-empat UUD NKRI 1945, ada perubahan kewenangan pembuatan UU. Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi "Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR" bandingkan dengan sekarang Pasal 20 ayat (1) "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang", artinya di sini peralihan kekuasaan pembentuk UU condong kepada Legislatif.
Kemudian dipertegas lagi oleh Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi" Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan". Jadi suatu Undang-undang sebenarnya tidak begitu membutuhkan tanda tangan seorang Presiden, karena tanda tangan Presiden sifatnya hanyalah formalitas sebagaimana dalam Pasal 38 angka (3) UU Nomor 10/2004 tentang PPP.
Jika begitu, kenapa Harus Ribut Karena Presiden Jokowi Tidak Menandatangani?
Hukum Tata Negara tidak membatasi dan juga tidak menerangkan kekuatan mengikat suatu UU jika tidak ditandatangani oleh Presiden. Tidak menjelaskan pula bilamana suatu UU yang telah sah dan berlaku tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden bilamana suatu hari UU itu bermasalah. Peluang hukum yang dapat digunakan apabila UU itu sudah berlaku hanya dengan mengujinya ke Mahkamah Konstirusi (MK).
UUD NKRI 1945 memberikan kewenangan sedikit lrbih banyak kepada Presiden melalui penerbitan PERPU (Peraturan PEngganti Undang-Undang). Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Di sini UUD membatasi wewenang penerbitan PERPU dengan harus pada kondisi yang memaksa. Kegentingan yang memaksa yang dimaksud oleh Pasal 22 tersebut juga tidak dijelaskan secala detail, apakah karena Negara dalam kondisi kacau, atau apakah karena keadaan politik yang tidak kondusif?
Sebagaian ahli berpendapat keadaan memaksa lebih kepada keadaan dimana publik butuh peraturan yang dapat menghilangkaa kegelisahan akan suatu hal, terbukti pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan Perppu sesaat setelah mengundangkan UU Pilkada karena mayoritas publik menolak pengaturan dalam UU Pilkada yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun ini tetap merupakan penilaian subjektif dari seorang Presiden. Tidak ada tolok ukur mengenai keadaan yang memaksa dalam penerbitan PERPU inilah yang ditakutkan Fahri Hamzah dkk di Senayan sehingga mereka berkeras agar Presiden menandatangani, agar tertutup peluang menerbitkan PERPU yang melawan substansi dalam Pasal-pasal UU MD3.
Ada beberapa Undang-undang yang tidak ditanda tangani oleh Presiden, sebut saja salah satunya yang menyedot perhatian para Advokat kala itu, Megawati Soekarnoputri selaku Presiden tidak menandatangani Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Penulis (ehem ehem... sok-sokan pake kata Penulis, emang paper... heheh) tidak akan membicarakan mengenai UU Advokat tersebut, tapi akan fokus kepad UU MD3.
Undang-Undang Merupakan Produk Politik
Di Indonesia, tidak ada satu Undang-undang pun yang lahir tidak melalui proses politik, bahkan Dekrit Presiden Soekarno 1969 lahir atas desakan massa yang menginginkan kembali Ke UUD 1945. Pembentukan UU selalu mengakomodasi kepentingan politik, jika "hajatan" pembentukan UU berasal dari Legislatif, maka Legislatif akan lebih aktif melakukan lobi-lobi kepada eksekutif, begitu juga sebaliknya, jika eksekutif yang berkepentingan akan UU tersebut, maka biasanya Legislatif akan jual mahal karena merasa memiliki daya tawar tinggi.
Terlepas dari banyaknya kepentingan politik anggota MPR, DPR, DPRD dan DPD yang terkandung di dalam UU MD3, setelah selesai melakukan rapat paripurna dan men-sahkan suatu UU maka secara teori, UU tersebut sudah 90% sah dan berlaku. Kenapa 90% sudah sah sebagai UU yang berlaku? Setelah Amandemen Ke-empat UUD NKRI 1945, ada perubahan kewenangan pembuatan UU. Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi "Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR" bandingkan dengan sekarang Pasal 20 ayat (1) "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang", artinya di sini peralihan kekuasaan pembentuk UU condong kepada Legislatif.
Kemudian dipertegas lagi oleh Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi" Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan". Jadi suatu Undang-undang sebenarnya tidak begitu membutuhkan tanda tangan seorang Presiden, karena tanda tangan Presiden sifatnya hanyalah formalitas sebagaimana dalam Pasal 38 angka (3) UU Nomor 10/2004 tentang PPP.
Jika begitu, kenapa Harus Ribut Karena Presiden Jokowi Tidak Menandatangani?
Hukum Tata Negara tidak membatasi dan juga tidak menerangkan kekuatan mengikat suatu UU jika tidak ditandatangani oleh Presiden. Tidak menjelaskan pula bilamana suatu UU yang telah sah dan berlaku tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden bilamana suatu hari UU itu bermasalah. Peluang hukum yang dapat digunakan apabila UU itu sudah berlaku hanya dengan mengujinya ke Mahkamah Konstirusi (MK).
UUD NKRI 1945 memberikan kewenangan sedikit lrbih banyak kepada Presiden melalui penerbitan PERPU (Peraturan PEngganti Undang-Undang). Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Di sini UUD membatasi wewenang penerbitan PERPU dengan harus pada kondisi yang memaksa. Kegentingan yang memaksa yang dimaksud oleh Pasal 22 tersebut juga tidak dijelaskan secala detail, apakah karena Negara dalam kondisi kacau, atau apakah karena keadaan politik yang tidak kondusif?
Sebagaian ahli berpendapat keadaan memaksa lebih kepada keadaan dimana publik butuh peraturan yang dapat menghilangkaa kegelisahan akan suatu hal, terbukti pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan Perppu sesaat setelah mengundangkan UU Pilkada karena mayoritas publik menolak pengaturan dalam UU Pilkada yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun ini tetap merupakan penilaian subjektif dari seorang Presiden. Tidak ada tolok ukur mengenai keadaan yang memaksa dalam penerbitan PERPU inilah yang ditakutkan Fahri Hamzah dkk di Senayan sehingga mereka berkeras agar Presiden menandatangani, agar tertutup peluang menerbitkan PERPU yang melawan substansi dalam Pasal-pasal UU MD3.
Komentar
Posting Komentar