Skripsi Tentang Pailit (Latar Belakang)
INSOLVENSI SEBAGAI UKURAN DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PAILIT YANG BERKEADILAN BAGI DEBITOR
A. Latar
Belakang
Sebagai
negara yang berdasarkan atas hukum dan demi mewujudkan tujuan nasional serta
mewujudkan negara kesejahteraan (welfare
state)[1]
sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Indonesia terus berupaya membenahi aturan hukum mengenai
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Salah satu sarana hukum yang diperlukan
untuk mewujudkan negara kesejahteraan adalah mendukung pertumbuhan dan
pembangunan perekonomian nasional dengan cara membuat peraturan tentang
kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang. Sebelumnya
kepailitan diatur dalam Faillisement-verordening,
Staatsblad 1905:217 Juncto Staatsblad 1906: 348 yang
merupakan produk hukum peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Peraturan ini
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk
kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil,
cepat, terbuka, dan efektif.[2]
Faillissements Verordening sebagai dasar hukum kepailitan yang
berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sangat jarang digunakan.
Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan itu di tengah-tengah
masyarakat kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya sangat minim. Awalnya, Faillissements Verordening itu hanya
berlaku untuk pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata Barat
saja. Akibatnya, Faillissements Verordening
itu tidak dirasakan sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi,
dan karena itu pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.
Krisis moneter melanda sebagian besar
dari negara-negara asia pada pertengahan tahun 1997, tidak terkecuali
Indonesia. Krisis tersebut telah menyebabkan sendi-sendi perekonomian porak
poranda, salah satu yang paling merasakan dampak krisis adalah dunia usaha. Risiko
tersebut yang harus dikelola dengan baik dan jika diabaikan maka dapat
mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di
sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan
bahwa perusahaan mengalami pailit (corporate
failure)[3]
Untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan dunia usaha yang semakin bangkrut yang akan berakibat pula pada
tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban membayar utang yang telah jatuh
tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan
dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya dengan merevisi Undang-Undang
Kepailitan yang ada.[4]
Sebagai bagian dari upaya pemerintah
untuk menyelesaikan persoalan sebagai dampak krisis ekonomi, seperti untuk
memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan perusahaan debitur dalam
menyelesaikan utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan
investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan juga
peranan dari pihak IMF (International
Monetary Fund) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana
hukum yang mengatur persoalan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur[5]
Maka dengan tekanan International
Monetary Fund (IMF), Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. IMF merasa bahwa
dasar hukum kepailitan Faillisements
Verordening (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906
Nomor 348) yang merupakan peraturan kepailitan warisan pemerintah kolonial
Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman.[6]
Walaupun Undang-undang No. 4 tahun 1998
telah dibentuk, namun masih terdapat berbagai kekurangan, seperti
ketidakjelasan mengenai definisi utang, pengertian tentang utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih serta kewenangan untuk mengajukan permohonan
pailit perusahaan asuransi dan juga banyaknya putusan pengadilan niaga yang
kontroversial dalam kasus kepailatan asuransi[7].
Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang-
undang Kepailitan lama, maka pemerintah bersama DPR pada Desember 2004
mengeluarkan Undang-Undang kepailitan yang baru.
Kepailitan itu sendiri merupakan suatu
lembaga hukum perdata Eropa, yang berfungsi untuk menjamin pembagian pelunasan
utang debitor terhadap para kreditornya sebagai realisasi dari dua asas pokok
yang terkandung dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata)[8]
yang bertujuan untuk membagi harta kekayaan debitur secara adil, dimaksudkan
agar kreditur memperoleh pelaksanaan secara mendahului (pari passa) dari yang
lain, maupun kreditur memperoleh pelunasan lebih besar terhadap lainnya
(protata)[9].
Seiring dengan perkembangan zaman dan mengingat
persaingan dunia usaha yang ketat dan kompetitif sehingga banyak perusahaan yang
pengelolaannya tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya
sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar
utang-utangnya.[10]
Persoalan kepailitan semakin
kompleks dengan banyaknya kreditor yang mengajukan permohonan pailit kepada
debitor hanya didasarkan pada keuntungan yang akan diperoleh jika debitor dinyatakan
pailit. Pengajuan permohonan pailit yang berorientasi pada keuntungan kreditor
semata sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan sangat bertolak
belakang dengan semangat yang termaktub di dalam UU Kepailitan.
Banyaknya
kontroversi pengajuan pailit perusahaan besar yang sehat secara finansial
berbanding lurus dengan banyaknya putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan
Niaga. Syarat dinyatakan pailit yang ditentukan oleh UU Kepailitan terkesan
terlau mudah. UU Kepailitan
juga menentukan bahwa permohonan pailit dapat dikabulkan apabila debitor
terbukti dengan cara sederhana memiliki utang kepada dua kreditor yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih.
Mudahnya penjatuhan putusan pailit
mendorong para kreditor untuk mengajukan permohonan pailit kepada suatu
perusahaan walaupun perusahaan tersebut besar dan sehat secara finansial. Kita
tentunya belum lupa kasus Telkomsel, walaupun akhirnya putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tesebut dianulir oleh Mahkamah Agung, akan tetapi putusan
pailit yang divonis majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut
menjadi perhatian publik dan juga para pemerhati kepailitan. Bagaimana mungkin
perusahaan raksasa PT Telekomunikasi Selular, Tbk., yang merupakan BUMN dinyatakan
pailit? Pakar hukum perdata dan hukum kepailitan dari Universitas Padjadjaran,
Isis Ikhwansyah[11]
mengatakan:
“Inilah yang
menjadi keteledoran hakim di Pengadilan Niaga. Mereka terkecoh pada syarat
formil pengajuan perkara kepailitan yang mengharuskan adanya dua atau lebih
kreditur dan menggiring opini bahwa pembutiannya bersifat sederhana”
Hal yang sama juga terjadi pada putsan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.10/pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst,[12]
tertanggal 13 juni 2002 terhadap perusahaan asuransi PT.Asuransi jiwa Manulife
(PT.AJMI). Putusan pailit tersebut telah banyak memicu reaksi keras karena
putusan pailit tersebut dijatuhkan terhadap suatu perusahaan yang masih solvent dan dinyatakan sehat dan
memiliki C.A.R di atas rata-rata/adanya kesanggupan membayar utang, dinyatakan
pailit oleh pengadilan hanya didasarkan bahwa perusahaan tersebut tidak mampu
membayar kewajibannya kepada salah satu kreditor.
Dalam UU Kepailitan yang berlaku saat
ini penjatuhan putusan pailit bisa dialami oleh perusahaan yang besar dan sehat
secara finansial. Perusahaan besar dan sehat secara finansial bisa diputuskan
pilit secara hokum, walaupun secara empiris dan fakta sebenarnya, perusahaan
tersebut masih jauh dari kata bangkrut.
UU Kepailitan tidak membatasi jumlah
utang kreditor yang belum dibayar oleh debitor untuk dapat mengajukan
permohonan pailit, UU Kepailitan juga tidak membuat ukuran yang baku mengenai presentase
perbandingan utang dengan aset (insolvensi
test)[13].
Begitu
pula dalam pembuktian untuk menjatuhkan pailit, sistem pembuktian di dalam hukum kepailitan
Indonesia menerapkan prinsip pembuktian sederhana yang masih
membingungkan sehingga lazim disebut dengan pembuktian secara sumir.[14]
Tidak adanya insolvensi test dalam ketentuan kepailitan di Indonesia mengakibatkan
banyak perusahaan yang bangkrut secara hukum, padahal kondisi keuangan
perusahaan tersebut sehat. Menurut Sutan Remy Sjahdeini:
“hukum kepailitan tidak saja
mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya pada salah
satu kreditor saja, tetapi debitor harus berada dalam keadaan tidak mampu membayar
kepada sebagaian besar para kreditornya. Serorang debitor tidak dapat
diakatakan telah insolven apabila hanya kepada seorang kreditor saja dibitor
tidak membayar utangnya, sedangakan keapda kreditor-kreditor lainnya debitor
tetap melaksanakan kewajibannya dnegna baik. Hal ini menjunkkan bahwa belum
tentu debitor tersebut tidak mampu melunasi utangnya, tetapi mungkin saja
debitor tidak mau melunasi utangnya karena alasan tertentu, sehingga tidaklah
dapat dikatakan bahwa debitor telah berdada dalam keadaan insolven.
Insolvency test sangat diperlukan agar suatu debitor yang dinyatakan
pailit benar-benar karena tidak mampu untuk membayar utangnya kepada kreditor.
Putusan pernyataan pailit harus dilandaskan keadilan dan harus bertujuan untuk
melindungi debitor yang jujur karena ketidaksanggupannya untuk membayar utang.[15]
Menurut Siti Anisah,[16]
UU Kepailitan di Indonesia tidak didasarkan pada filosofi global mengenai
pailit yang seharusnya dimasukkan di hukum kepailitan yang merupakan filosofi dasar
bahwa debitur yang masih dalam kondisi solven
tidak dapat dinyatakan pailit.
Berasarkan nilai-nilai filosofis
mengenai pernyataan putusan pailit, UU Kepailitan seharusnya memastikan bahwa
debitor yang dinyatakan pailit harus benar-benar dalam kondisi tidak mampu
membayar utang (insolven) dimana utang di debitor harus lebih besar dari
asetnya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai masalah Insolvensi Test dalam kaitannya dengan
keadilan dalam penjatuhan putusan pailit bagi debitor dengan menyusun Disertasi
dengan judul: INSOLVENSI SEBAGAI UKURAN DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PAILIT YANG BERKEADILAN BAGI DEBITOR
[1] Jimly Asshiddiqie,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm.
124.
[2] Hadi Setia Tunggal, UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Havarindo Jakarta,
2005, hlm.124-126.
[3] Muliaman D. Hadad, Wimboh
Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia: An Additional Early
Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta: Bank Indonesia, Des.
2003), hlm. 2
[5] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hlm. 20
[6] Diakses dari situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4206/22-titik-krusial-ruu-tentang-kepailitan-dan-pkpu, pada
tanggal 6 September 2018, jam 14:02 WIB
[7] J. Andri
Hartanto, Hukum Jaminan dan Kepailitan;
Hak Kreditor Separatis dalam Pembagian Hasil Penjualan Benda Jaminan Debitor
Pailit, Laksbang Justitia Surabaya, Surabaya, 2015. Hlm. 61.
[8] Freddy Harris, Kumpulan Materi Hukum Kepailitan, Buku Ajar
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Magister Kenotariatan, 2004,
Hlm. 5.
[9] Kartini Mulyadi dan
Gunawan Widjaya, Pedoman Menangani
Perkara Kepailitan. Raja Grafindo Persada Jakarta. 2003, Hlm. 5.
[10] Victor M. Situmorang dan
Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia (Jakarta : Rineka
Cipta, 1994) hlm. 3
[11]Diakses dari situs https://ekonomi.inilah.com/read/detail/1913330/pakar-hukum-nilai-telkomsel-tak-layak-dipailitkan, pada
tanggal 28 September 2018, Jam 10:39 WIB.
[12]Diakses
dari situs https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5777/manulife-indonesia-pailit, pada
tanggal 28 September 2018, Jam 10:39 WIB.
[13] Louis E. Levinthal, The Early History of Bankruptcy Law,
University of Pennsylvania Law Review
(1918), hlm. 225-227.
[14] Victorius
M. H. Randa Puang, Penerapan Asas
Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit, (Tesis Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006), hal. iii.
[15] Lewis D. Rose, Australian
Bankruptcy Law, Sydney: Law Book Co, 1994, p.1 dalam Siti Anisah hlm.7
[16] Siti Anisah,
Studi Komparasi terhadap Kepentingan
Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Jurnal Hukum Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, p. 30-50
Komentar
Posting Komentar