Eksekusi Putusan Pengadilan Negeri Mengenai Penahanan Ahok yang Dilakukan oleh Jaksa

"Memerintahkan Agar Terdakwa Ditahan" itulah bunyi Amar Putusan Pemidanaan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam tindak pidana penodaan agama. Majelis hakim berpendapat Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana penodaan agama sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 156a KUHP.
Setelah pembacaan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai, tidak berselang lama Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Penasihat Hukumnya menyatakan Banding atas vonis tersebut, sehingga putusan tersebut menurut KUHAP belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Apabila suatu putusan yang dinyatakan Banding, maka putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karenanya amar pemidanaan yang terkandung dalam putusan itu belum bisa dieksekusi oleh Jaksa karena KUHAP memberi penjelasan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan membatasi Jaksa melaksanakan suatu putusan dengan beberapa syarat, seperti dalam Pasal 270 KUHAP berbunyi: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.
Jika membuka Penjelasan KUHAP mengenai Pasal 270 tersebut di atas, tertulis “cukup jelas”, artinya Pembuat Undang Undang merasa tidak perlu lagi menjelaskan maksud dari Pasal tersebut karena sudah jelas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) hanya dapat dilakukan apabila putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak boleh melasanakan suatua putusan apabila masih ada proses banding ataupun kasasi. Maka Jaksa hanya boleh mengeksekusi suatu putusan apabila: (1). Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap; dan (2). Panitera telah mengirimkan salinan putusan.
Jaksa Langsung Menahan Ahok
Begitu persidangan ditutup, Jaksa langsung menjalankan Putusan tersebut dengan menahan Ahok ke Rutan Cipinang. Di sinilah letak kejanggalan amar putusan itu dan juga dasar hukum eksekusi terhadap putusan tersebut. Karena segera setelah putusan pemidanaan selesai dibacakan Terdakwa menyatakan Banding, maka pada saat itu juga Putusan yang diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum berkekuatan hukum tetap dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, sesuai dengan Pasal 238 KUHAP ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan sebagai berikut:
Ayat (2)
“Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.”
Ayat (3)
“Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan Terdakwa'.
Dari ketentuan Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP tersebut, jelas bahwa wewenang penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak saat Terdakwa menyatakan Banding. Oleh karenanya, ketika ada permintaan Banding, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi bahwa seorang Terdakwa telah mengajukan banding, maka sejak saat itu juga kewenangan menahan seorang Terdakwa telah beralih kepada Pengadilan Tinggi.
Asumsi penulis, jika wewenang penahanan telah beralih kepada Pengadilan Tinggi sejak saat diajukannya permintaan Banding, maka secara otomatis amar penahanan yang terdapat dalam putusan pemidanaan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sudah tidak memiliki kekuatan eksekusi lagi. Dapat ditarik kesimpulan, Penahanan Ahok tersebut bertentangan dengan Hukum!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meat, Desa Indah di Pinggiran Danau Toba, Tampahan, Balige

Trio Amsisi