Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Eksekusi Putusan Pengadilan Negeri Mengenai Penahanan Ahok yang Dilakukan oleh Jaksa

"Memerintahkan Agar Terdakwa Ditahan" itulah bunyi Amar Putusan Pemidanaan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam tindak pidana penodaan agama. Majelis hakim berpendapat Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana penodaan agama sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 156a KUHP. Setelah pembacaan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai, tidak berselang lama Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Penasihat Hukumnya menyatakan Banding atas vonis tersebut, sehingga putusan tersebut menurut KUHAP belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Apabila suatu putusan yang dinyatakan Banding, maka putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karenanya amar pemidanaan yang terkandung dalam putusan itu belum bisa dieksekusi oleh Jaksa karena KUHAP memberi penjelasan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan membatasi Jaksa melaksanakan suatu putusan de

Konsekuensi Hukum Apabila Undang-Undang MD3 tidak diteken oleh Presiden

Adakah Undang-undang yang tidak ditanda tangani oleh Presiden tetapi berlaku dan sah sebagai Undang-undang yang telah diundangkan? Ada beberapa Undang-undang yang tidak ditanda tangani oleh Presiden, sebut saja salah satunya yang menyedot perhatian para Advokat kala itu, Megawati Soekarnoputri selaku Presiden tidak menandatangani Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Penulis (ehem ehem... sok-sokan pake kata Penulis, emang paper... heheh) tidak akan membicarakan mengenai UU Advokat tersebut, tapi akan fokus kepad UU MD3. Undang-Undang Merupakan Produk Politik Di Indonesia, tidak ada satu Undang-undang pun yang lahir tidak melalui proses politik, bahkan Dekrit Presiden Soekarno 1969 lahir atas desakan massa yang menginginkan kembali Ke UUD 1945. Pembentukan UU selalu mengakomodasi kepentingan politik, jika "hajatan" pembentukan UU berasal dari Legislatif, maka Legislatif akan lebih aktif melakukan lobi-lobi kepada eksekutif, begitu juga sebaliknya, jika ekse

Kekhilafan Hakim dan Kekeliruan yang Nyata atas Putusan Penodaan Agama Ahok

KUHAP memperbolehkan Terpidana atau Kuasa Hukumnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan apabila putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) vide Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu, sebagaimana Pasal 264 ayat  (3) KUHAP. Namun secara limitatif dibatasi oleh adanya 3 (tiga) ketentuan, yaitu: 1. Apabila terdapat keadaan baru. Ini sering disebut dengan bukti baru (novum). 2. Apabila putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Kekhilafan Hakim dan Kekeliruan yang Nyata Kekeliruan pertama. Sejak penyidikan, Penuntutan, hingga Vonis kasus ini kontroversi. Penodaan agama yang terdapat dalam dakwaan Pasal 156a KUHAP merupakan pasal sisipan dari Perpres 1/1960, bukan merupakan pasal asli